Atas Nama Daun, Memandang Ganja dari Ragam Perspektif

Judul Film : Atas Nama Daun (Dokumenter Panjang Tentang Ganja, 2022)
Pemeran/Narasumber : Aristo Pangaribuan, Angki Purbandono, Dhira Narayana, Peter Dantovski, Sulistriandiatmoko, Fidelis Arie, dan Dwi Pertiwi
Sutradara : Mahatma Putra
Genre : Dokumenter Film
Produksi : Anatman Pictures
Durasi Film : 70 Menit
Tanggal Rilis : 24 Maret 2022
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Film dokumenter berjudul Atas Nama Daun yang berdurasi 1:10:14 detik ini membuat saya menonton tanpa melewatkan adegan satu detik pun. Ya, film ini membahas fakta bagaimana cannabis sativa atau lebih dikenal dengan sebutan Ganja, mampu menjadi obat medis bagi orang yang mengidap penyakit saraf, seperti; cerebral palsy dan syringomyelia.
Film ini terbagi menjadi lima babak (bab), yakni; Atas Nama Riset, Atas Nama Daun, Atas Nama Hukum, Atas Nama Cinta, dan Atas Nama Hak. Setiap babak mempunyai perspektif tentang ganja yang berbeda, sehingga audiens mampu menilai dari berbagai sudut pandang cerita narasumber.
Berbicara soal pemanfaatan ganja sebagai medis, film ini turut menghadirkan narasumber penting, seperti Fidelis Arie dan Dwi Pertiwi. Keduanya memberikan fakta aktual, bagaimana ganja mampu meredam penyakit saraf. Sebut saja, Fidelis, PNS yang sempat dipenjara pada taun 2017 lantaran menanam sejumlah pohon ganja di rumahnya untuk mengobati sang istri, Yeni Riawati yang didiagnosis penyakit syringomyelia.
Efek ganja mampu menjinakan rasa sakit sang istri semasa hidupnya. Namun, ketika Fidelis ditahan lantaran mengajukan dispensasi kepada BNN untuk menanam ganja, ia dikriminalisasi yang berujung penahanan. Selama masa tahanan, membuat kondisi istri Fidelis semakin menurun dan akhirnya meninggal dunia. Scene ini membuat saya mencoba menahan air mata, namun tak terbendung.
Di lain sisi, Musa ibn Hassan, anak dari Dwi Pertiwi mengidap penyakit cerebral palsy kelumpuhan dari masa dini. Lagi-lagi ganja mampu meredam penyakit ini, kejang adalah teror dari cerebral palsy, terapis lewat ganja menjadi harapan bagi Ibu asal Yogyakarta tersebut untuk berikhtiar bagi sang mendiang anaknya. Musa kini telah tiada.
Keduanya ditampilkan sebagai manusia penuh perjuangan atas nama cinta. Segala ikhtiar, Dwi lakukan berjuang untuk melegalkan ganja sebagai obat medis. Human interst ditampilkan di film ini mampu memengaruhi emosional penonton. Sejatinya ini adalah masterpiece yang patut diapresiasi dan disebarkan.
Selain itu, kombes BNN, Sulistiandriatmoko (juru bicara BNN 2017-2019) menjadi penyeimbang perspektif dalam ranah hukum. Saya jadi mengerti mengapa sulitnya legalitas ganja di Indonesia, lantara regulasi hukum yang menurut saya cukup ruwet. Ganja berada digolongan kelas I, urutannya tidak jauh dari heroin.
Kisah Fidelis mengungkapkan fakta, hukum berada diatas nyawa manusia. BNN, badan hukum yang menaungi segala bentuk narkoba dari berbagai golongan, tidak menolerir penanaman ganja apapun alasannya. Kini, Dwi bersama para ibu lainnya berjuang di Mahkamah Konstitusi untuk melegalkan ganja.
Sayangnya, dalam flim ini tidak menampilkan dokter sebagai penambah perspektif dari ranah medis itu sendiri. Kendati demikian, lima bab dari film ini sudah cukup membuka pandangan dan alasan mengapa ganja harus dilegalkan sebagai medis. Thailand dan Malaysia pada tahun lalu sudah melegalkan ganja sebagai medis. Saya harap Indonesia dapat menyusulnya, agar tidak ada Musa dan Yeni dikemudian kelak.
Fresh Crew: Yopi Muharam/Suaka
Editor Fresh: Shafa Maura Zahwa/Suaka