Childfree: Meninjau Ulang tentang Memiliki Anak
*Oleh Yopi Muharam dan Elni Pujayanti
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Belum lama ini media sosial diramaikan dengan pernyataan seorang YouTuber, Gita Savitri, yang mengungkapkan keputusannya bersama sang suami untuk childfree. Hal itu sebenarnya sudah sempat ia katakan ketika diwawancarai oleh Psikolog Analisis, Widyaningrum dalam channel YouTube-nya. Namun isu ini kembali mencuat ketika ia membalas beberapa pertanyaan netizen pada unggahan Instastory-nya.
Lalu apa sih yang dimaksud dengan childfree? Singkatnya, childfree adalah sebuah keputusan yang disepakati oleh pasangan yang sudah menikah untuk tidak memiliki anak. Berbagai tanggapan dilontarkan oleh netizen. Ada yang tidak setuju, namun ada pula yang setuju dan turut menyerukan keputusan ini.
Tentu sangat wajar, bila hal yang masih dianggap tabu menuai pro dan kontra, karena mendobrak norma ketimuran. Sebab, mempunyai anak di Indonesia dianggap sebuah anugerah dari Tuhan yang harus dimiliki oleh setiap pasangan yang telah menikah.
Fresh crew mewawancarai salah seorang wanita yang memutuskan childfree bersama suaminya. Ia menceritakan kepada kami bagaimana keputusan ini diambil. Namanya Maya (nama samaran), umur pernikahannya sudah menginjak empat tahun. Pemikiran Maya tentang tidak memiliki anak bermula saat ia duduk di bangku SMP.
Waktu itu banyak remaja-remaja yang sudah hamil. Hidup mereka dipandang Maya beresiko dan menyedihkan. Maya kemudian berpikir, jika memiliki anak akan memiliki hidup yang buruk. Seiring berjalannya waktu, Maya melihat anak kecil sebagai sosok yang menyebalkan dan mengganggu. Awalnya ia hanya memikirkan tentang tidak memiliki anak dengan pikiran dan pertimbangan yang terbatas.
Semakin beranjak dewasa, Maya semakin yakin bahwa memiliki anak butuh pertimbangan yang besar. Ia mempertimbangkan bahwa memiliki anak merupakan komitmen seumur hidup dan ia memiliki ketakutan untuk mengambil resiko besar itu. “Komitmen seumur hidup. Itu yang bikin kayak wow, gimana kalau nanti anaknya seperti ini, seperti itu. Di situ kan ada ketakutan sendiri, kayak gak berani ambil risiko gitu,” ucapnya saat diwawancara melalui Zoom Meeting, Selasa (02/10/2021).
Keputusannya semakin kuat ketika Maya didiagnosa bipolar yang diturunkan dari gen kakeknya. Ia semakin takut jika nanti anaknya akan memiliki penyakit turunan seperti yang ia rasakan. Ditambah, suaminya juga memiliki permasalahan kesehatan mental. Hingga keputusannya semakin menguat untuk childfree.
Faktor-Faktor Childfree, Kesiapan dan Kuasa Tubuh Perempuan
Pernikahan merupakan komitmen yang dijalani bukan hanya untuk sementara, begitu pun memiliki anak merupakan tanggung jawab seumur hidup bagi pasutri. Meskipun pasangan suami-istri (pasutri) sudah berpisah, namun tanggung jawab terhadap anak masih terus melekat. Makanya, keputusan untuk tidak memiliki anak ada faktor-faktor yang melatarbelakanginya.
Psikolog dari Unit Layanan Psikologi (ULP) UIN SGD Bandung, Nisa Hermawati menyebutkan ada beberapa faktor pasangan memutuskan childfree. Kesiapan finansial, riwayat penyakit, kesipan mental menjadi orangtua, trauma, dan alasan-alasan lainnya. Namun, Nisa menekankan bahwa kesiapan mental menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Sebab, keputusan mempunyai anak itu bukan hanya sekadar materi, tetapi juga kesiapan tanggung jawab bagi pertumbuhan sang anak kelak.
Nisa juga menjelaskan konsekuensi yang harus diterima oleh pasangan childfree adalah menerima stigma dari masyakarat. Seperti omongan yang membanding-bandingkan antara pasangan childfree dengan pasangan yang sudah mempunyai momongan. Maka dari itu Nisa menjelaskan, pasangan yang memutuskan childfree harus menyiapkan secara matang keputusan maupun konsekuensi yang akan diterimanya.
“Kalau itu sudah dibicarakan bersama-sama berarti dia sudah siap secara mental dengan konsekuensi yang mungkin akan diterima. Entah itu stigma dari masyarakat atau dari keluarga. Kalau misalnya itu tidak dibicarakan baik-baik tentang konsekuensinya, dampaknya memang mungkin bisa ke psikologis juga,” ungkap Nisa Hermawati saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (19/10/2021).
Dosen Studi Agama-Agama, Yeni Huriani menyampaikan bahwa keputusan memilih childfree merupakan sepenuhnya hak setiap individu maupun pasutri. Yeni menjabarkan beban yang dirasakan oleh istri mulai proses mengandung selama sembilan bulan hingga melahirkan. Selama mengandung istri mengalami keadaan sulit, seperti berat badan bertambah 10-15kg, bentuk tubuh berubah secara drastis, hormon yang membentuk emosi dan mood sering kali barubah-ubah.
Melahirkan pun turut menjadi pengorbanan dan daya juang istri kepada kemanusiaan. Karena memang istri yang merasakan sakitnya penderitaan dalam melahirkan. Kemudian menyusui anak selama kurang lebih dua tahun turut menjadi beban istri. Mengasuh, menggendong, dan menyuapi juga menurut Yeni menjadi faktor seorang istri memilih untuk enggan mempunyai anak.
“Jadi memang godaan untuk lepas dari kesulitan itu menurut saya yang menjadi pemicu bagi orang (perempuan) untuk memilih tidak punya anak,” ungkap Yeni yang pernah aktif selama 10 tahun di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat saat diwawancarai di Gedung Fakultas Ushuludin UIN SGD Bandung, Senin (1/10/2021).
Kebiasaan masyarakat untuk mengintervensi pasangan childfree menurut Yeni semestinya diubah, termasuk di dalamnya praktik kawin paksa atau perjodohan. Sebab Yeni bilang, bahwa perempuan berhak menentukan kehidupannya dan memiliki kuasa atas tubuhnya. “Bahwa perempuan perlu menentukan dirinya sendiri, perlu menentukan arah hidup dirinya, kapan dia mau menikah. Sesudah menikah dirinya juga yang menentukan kapan mau punya anak. Tidak perlu masyarakat masuk mengintervensi tubuh perempuan ‘kenapa ini sudah satu tahun belum hamil juga’ gitu,” lanjut Yeni.
Perjalanan Paradigma Memiliki Anak
Mulai banyaknya perbincangan tentang childfree menunjukkan eksistensinya semakin mencuat ke permukaan. Namun, konsep pemikiran bangsa Indonesia tentang memiliki anak harus ditinjau kembali. Sebab, dalam pandangan bangsa Indonesia memiliki anak merupakan kesatuan peran yang dimiliki oleh institusi keluarga.
Dosen Sosiologi UIN SGD Bandung, Dede Syarif menjabarkan bahwa mempunyai anak sebenarnya peran dari institusi keluarga. Jika dilihat dari pendekatan sosiologis, salah satu fungsi dan peran adanya lembaga keluarga adalah regenerasi. Akan tetapi fungsinya tidak bersifat tetap dan absolute. Sebab, fungsinya yang dibentuk oleh kondisi lingkungan, di mana peran dan fungsi dalam keluarga akan berubah sesuai dengan konteks keluarga yang dibangun.
Dede mencontohkan ketika dulu konsep masyarakat tradisional dengan jumlah populasi yang masih sedikit dan proses bekerja yang masih menggunakan tenaga manusia. “Maka konsepsi punya anak itu menjadi bagian yang sangat penting, sehingga dalam istilah bahasa Indonesia adalah banyak anak, banyak rejeki,” ungkapnya melalui Zoom Meeting, Selasa (14/10/2021).
Dengan memiliki anak, nantinya anak dapat membantu orang tua bekerja. Selain itu, secara teologis, orangtua dititipkan rezeki melalui anak. Sehingga Dede bilang, kalau childfree mulai berkembang dari negara-negara industri maju dengan biaya hidup yang tinggi. Sehingga, bukannya seperti istilah dalam bahasa Indonesia, banyak anak banyak rezeki, yang terjadi malah sebaliknya.
“Sehingga semakin banyak anak, bukan semakin banyak rejeki, tetapi sebaliknya, karena biaya hidup semakin bertambah. Sehingga ada pilihan untuk tidak punya anak atau lebih sedikit anak,” tambah Dede Syarif. Pemikiran soal memiliki anak selanjutnya adalah anak dijadikan tumpuan bagi masa depan orangtua.
Yeni Huriani mengatakan, gaya hidup lansia yang mau ditempatkan di panti jompo saja masih sedikit dan belum bisa diterima secara umum. Apalagi belum ada fasilitas-fasilitas bagi lansia yang terprogram dengan baik. Hal ini disebabkan oleh masih langgengnya pemikiran masa tua orang tua dititipkan ke anak. Namun, Yeni bilang pemikiran seperti ini baiknya sudah harus mulai diubah. Artinya, bagaimana seseorang bisa mandiri bahkan hingga meninggal.
Yeni sempat menyinggung bahwa keputusan childfree merupakan hak penuh bagi individu maupun pasangan. Tetapi jika pandangan tersebut dijadikan sebuah lifestyle bagi banyak orang, ini akan berdampak kepada regenerasi manusia. Sama halnya dengan pilihan seksual, homo ataupun lesbian merupakan hak prerogatif manusia. Tetapi akan menjadi masalah jika ditularkan, apalagi dikampanyekan.
Tidak hanya itu, Dede juga bilang masalah yang akan dihadapi ketika keputusan childfree disampaikan secara terang-terangan. Sebab akan berbenturan dengan nilai dan ideologi masyarakat di Indonesia. “Misalnya, bisa jadi relevan sesuatu hal yang kontekstual di negara-negara barat. Selain karena biaya hidupnya sangat mahal, ideologinya juga mendukung, ya akhirnya keluar (childfree). Seperti di Indonesia kemungkinan menjadi tidak cocok,” tandasnya.
Tidak Ada Sanksi dan Ruang Solidaritas
Jika dikaji secara regulasi, jelas tidak ada peraturan di Indonesia yang mengatur tentang larangan tidak memiliki anak. Namun, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang memiliki kewenangan terhadap Kependudukan dan Keluarga Berencana tidak menganjurkan keputusan ini menjadi budaya di masyarakat.
Kepala BKKBN Jawa Barat, Wahidin menyampaikan, dari kacamatanya, keputusan childfree yang diambil karena alasan penyakit dapat dimaklumi. Namun, jika dasar childfree dengan alasan yang lain, Wahidin bilang kalau ini tidak baik jika berlaku masif. “Hal ini sudah semestinya menjadi perhatian BKKBN, meriset dan mengedukasi konsep keluarga nasional,” ucap Wahidin kepada fresh crew, Selasa (2/10/2021).
Wahidin menjelaskan, kalau childfree terjadi di masyarakat secara masif justru akan kontradiktif terhadap pembangunan negara. Dampak dari masifnya chidfree akan terasa di kemudian hari, yaitu mayoritas penduduk dihuni oleh para lansia dengan usia non-produktif, sedangkan usia produktifnya hanya sedikit. “Jadi kita konteksnya (tugas BKKBN, red) seimbang. Di sisi lain yang punya anak banyak kita edukasi supaya gak punya anak banyak, yang sulit punya anak kita dorong untuk menangani infertil,” lanjutnya.
Wahidin bilang, BKKBN berupaya untuk memberikan edukasi terhadap anak muda mengenai konsep pernikahan yang harus dipersiapakan sedari sekarang, sehingga keputusan-keputusan childfree bisa ditekan angkanya. Sebab, konteks keluarga berencana nasional yang diterapkan di Indonesia adalah bukan nol, tapi tader 2,1. Artinya, harapan bagi pasutri untuk memiliki anak paling tidak satu orang.
Kebijakan nasional yang mengatur mengenai keluarga berencana di Indonesia hanya bersifat edukasi. Jadi, tidak ada aturan yang menentang keputusan pasangan childfree. Namun, edukasi yang saat ini dikedepankan di masyarakat adalah dua anak lebih baik. Hal ini bukan tanpa alasan, namun menjadi salah satu metode yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya menekan angka kenaikan jumlah penduduk di Indonesia.
Meski begitu, pembicaraan maupun pasangan childfree di Indonesia mulai ada dan menggeliat. Penulis buku Childfree & Happy, Victoria Tungono menyatakan bahwa salah satu tujuannya menulis buku adalah untuk membagikan perjuangannya kepada pasangan maupun orang lain yang memilih childfree. Selain itu, Victoria juga berharap agar pembacanya yakin dengan keputusan childfree dan tidak merasa sendiri.
“Jadi saya pikir kalau memang saya bisa share semua struggle saya untuk meringankan apa yang orang lain alami, untuk memutuskan yakin dengan pilihannya dan juga supaya orang-orang tidak merasa sendirian. Sekarang udah banyak komunitas dan mulai diperbincangkan, orang-orangnya yang sepemikiran mulai mendekat sama saya dan saya merasa saya gak sendirian,” cerita Victoria ketika diwawancarai fresh crew melalui Zoom Meeting, Rabu (6/10/2021).
Victoria bercerita, bahwa ia setuju jika childfree ini diedukasikan. Sebab, ia memandang bahwa pemikiran orang-orang sudah terkonstruk dengan pemikiran jalan hidup yang ideal. Hal ini ia alami sendiri saat bertemu dengan teman lamanya tiga tahun lalu. Teman SMPnya itu sudah memiliki tiga anak, namun kagum dengan Victoria yang belum memiliki anak. Temannya tersebut bilang, bahwa ia tidak tau setelah menikah ternyata ada pilihan untuk tidak memiliki anak.
“Jadi pemikirannya udah template, bahwa semua orang itu harus sekolah, kuliah, menikah, punya anak, punya cucu, lalu meninggal. Jadi pikirannya semua orang yang menikah itu harus punya anak . Dia nggak tahu kalau ada pilihan untuk tidak punya anak,” ungkapnya.
Tidak hanya Victoria yang menginginkan orang-orang yang telah memilih childfree untuk yakin dan tidak merasa sendiri. Maya juga membuat sebuah akun Instagram @childfreeindonesia. Akun yang dibuat pada 2019 ini bertujuan agar ada ruang untuk tidak merasa sendiri dan tidak tenggelam dengan stigma masyarakat. Maya bilang, jika akun Instagram tersebut berisikan konten-konten mengenai childfree.
“Yaudah cuma jadi tempat curhat, tempat ngepost-ngepost gitu, istilahnya kayak edukasi gitu lah ya. Yang mungkin belum tau jadi tau, terus yang ingin tau bisa tau lebih, dan yang memang sudah memutuskan buat childfree juga merasa gak sendirian.” tuturnya. Maya juga bilang kalau kolom komentar di akun tersebut terbatas hanya bagi follower. Hal tersebut dibuatnya supaya yang memutuskan childfree merasa aman dan yang berinteraksi di sana tidak mendapatkan ejekan. [Kru Liput: Evi Fitaulifia]
Editor Fresh: Adinda Nuurlatifah