Efek Halo, Ketika Kesan Awal Bisa Mengalahkan Kompetensi

Freepik
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Tidak terasa, seminggu sudah berlalu sejak aku melakukan wawancara kepanitiaan. Hari ini, pihak organisasi telah mengirim daftar mahasiswa yang lolos mengikuti kepanitiaan dari event yang sangat aku nanti-nantikan. Dag dig dug hatiku bergetar seraya menelisik daftar nama dari A sampai Z. Berkali-kali aku pastikan, hatiku berdegup makin kencang, tidak mungkin namaku dilupakan, bukan? Mengapa aku tidak tertulis di sini?
“… Sial,” ucapku pelan. Di mana letak kesalahanku? Berkas pendaftaran sudah aku isi semua, wawancara pekan lalu pun kujawab dengan mudah. Bahkan, temanku yang hadir di sana menyebut performaku saat wawancara itu mengagumkan. Namun, kenapa aku masih tidak lolos? Bagian mana aku blunder? Sambil diiringi berbagai pertanyaan, aku kembali menelusuri daftar nama itu. Perasaanku sedih bercampur heran, mengapa diriku tidak diterima? Aku kurang apa?
Sampai kemudian di situlah aku menyadari sesuatu. Aku kenal sebagian besar nama-nama ini. Saat wawancara, mereka terlihat indah dalam rupa dan busana. Aku? Masa itu aku tidak terlalu mengkhawatirkan penampilan karena dikejar waktu. Apa mungkin pihak organisasi menerima hanya dari kesan penampilan yang ada pada mereka? Bukankah hal seperti ini agak tidak adil? Kemudian, aku mengingat fenomena serupa yang pernah dibahas di internet, efek halo. Apakah aku baru mengalami contoh nyatanya?
Mengambil kesimpulan tentang kualitas penuh seseorang hanya dari salah satu aspek khususnya yang digeneralisasi. Kesan positif atau negatif yang dirasakan dariku bisa memengaruhi penilaian orang lain terhadap diriku. Bahkan walau penilaian itu tidak berhubungan dengan kesan awal tadi. Bayangkan jika seorang pangeran memiliki atribut kerajaan lengkap, berwajah tampan, dan berhati baik. Kemudian seorang rakyat jelata yang melihatnya—mungkin juga aku—berpikir, “Wah, pangeran elok sekali, ya! Pasti dia juga pintar.”
Begitulah penjelasan yang aku ingat dari efek halo. Banyak media bahkan sepakat menyebut perilaku ini sebagai sebuah bias. Dalam permisalan tadi, aku telah menganggap pangeran sebagai orang yang pintar meskipun belum pernah melihat bukti kepintarannya. Toh, bisa jadi kan dia sebenarnya bodoh? Hanya kebetulan diberi dandanan elok oleh pelayannya dan make up bejibun yang membuatnya memiliki kesan baik. Sayangnya, aku, dan mungkin banyak orang lain telah terjerumus ke dalam kesan positif pangeran.
Lantas, apakah pihak organisasi baru saja terjerumus dalam bias serupa? Ah, mungkin hanya perasaanku. Namun, kepikiran tentang efek halo membuatku merinding. Bagaimana jika aku benar-benar mengalami dampak dari bias tersebut di masa depan? Ketika melamar kerja, HRD akan memilih calon yang berpenampilan elok dibanding diriku. Kan, jadi masalah juga, masa aku lama cari kerja karena HRD terlalu memandang tampan atau cantiknya seseorang?
Seharusnya, mereka mengutamakan kompetensi di samping penampilan. Kasihan tahu orang-orang yang berusaha mencari pekerjaan tetapi tertolak hanya karena penampilan, padahal skill mereka memadai. Selain itu, HRD—atau pihak organisasi dalam kasusku—bisa membuka ruang partisipasi orang atau anggota lain dalam mengambil keputusan. Agar keputusan yang dihasilkan terbebas dari efek halo ini.
Sayangnya, bias penilaian mereka sama sekali tidak bisa aku kendalikan, atau mungkin bisa? Misalnya dengan mengenakan pakaian elok dan berpenampilan rupawan. Tidak, sepertinya itu bukan solusi, yang ada aku hanya ikut main ke dalam penilaian subjektif mereka. Kalau dari terusan artikel yang kubaca, seharusnya aku juga menekankan kualitas yang relevan dari diriku saat wawancara waktu itu. Buat agar kapasitasku sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Benar, mungkin begitu bisa membantuku menggiring mereka agar keluar dari efek halo ini.
“Ah, ribet banget, sih! Mikirin yang ga penting begitu. Itu mah urusanku di lain waktu!” kataku sambil banyak mengusap kepala, berusaha menghilangkan pikiran-pikiran aneh yang liar di pikiranku. Ya sudahlah, terima saja aku tidak lolos. Setidaknya aku menyadari, ternyata kesan positif atau negatif seseorang bisa berpengaruh sejauh itu. Bahkan, sampai bisa menciptakan bias sendiri, lho! Semoga gak ketemulah sama orang yang kena efek halo kayak begitu. Dari pada efek halo, enaknya mah aku sebut efek halu!
Sumber: markplusinstitute.com, developdiverse.com
Fresh Crew: Rafif Asya Andhika/Magang
Editor Fresh: Hanifah Flora Reine/Suaka