Ilusi di Balik Multitasking
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Halo fresh reader apakah kalian tahu bahwa sadar atau tidak banyak dari kita terbiasa melakukan lebih dari satu pekerjaan dalam satu waktu? Misalnya makan sambil menonton TV, berkendara sambil menelepon, atau memperhatikan dosen yang sedang mengajar sambil mencatat. Kebiasaan ini biasa disebut dengan tugas ganda atau multitasking.
Istilah multitasking sendiri pertama muncul pada tahun 1965, yang mana merujuk pada penggunaan komputer yang dapat melakukan dua atau lebih tugas sekaligus. Istilah ini kemudian meluas pada manusia sebagai pelaku multitasking. Karena dapat melakukan banyak tugas sekaligus, anggapan bahwa dengan melakukan multitasking produktivitas seseorang bisa meningkat pun menjadi semakin populer.
Tapi apa iya kemampuan multitasking ini bisa berlaku juga pada manusia? Jawabannya, ya dan tidak.
Studi dari Watson dan Strayer menyebutkan bahwa hanya terdapat 2,5% manusia yang termasuk ke dalam kelompok supertasker. Supertasker adalah sebutan bagi mereka yang bisa melakukan lebih dari satu tugas bersamaan dan tetap efektif dalam keduanya. Selebihnya, kebanyakan dari kita sebenarnya tidak melakukan beberapa tugas secara bersamaan, melainkan hanya berpindah dari satu tugas ke tugas lain (switch-tasking).
Pada beberapa orang multitasking membawa kepuasan tersendiri karena adanya anggapan bahwa lebih efektif dan menambah produktivitas. Padahal sebenarnya multitasking tidak lebih efektif dibandingkan single-tasking. Para peneliti dari Stanford dalam eksperimennya menunjukan bahwa mereka yang sering ber-multitask sebenarnya lebih buruk dalam multitasking dibandingkan mereka yang lebih sering melakukan satu hal dalam satu waktu.
Penyebabnya adalah orang yang terbiasa multitasking tadi kesulitan mengorganisir apa yang ada di benak mereka dan kesulitan menyaring informasi yang tidak relevan, juga karena mereka lebih lambat saat berpindah antar tugas yang dikerjakan. Alasan-alasan tersebut menunjukan orang yang sering melakukan multitasking cenderung mudah teralihkan dan sulit fokus. Hal ini dalam kasus terburuk bisa saja membahayakan nyawa loh, seperti saat menelepon sambil berkendara.
Berdasarkan penelitian lainnya, mereka yang terbiasa multitasking mengalami penurunan nilai IQ sebesar 15 poin. Penurunan IQ ini setara dengan bila kita menghirup ganja atau begadang semalaman. Selain menurunkan IQ, multitasking bisa juga menyebabkan kerusakan pada otak. Para multitasker level berat memiliki lebih sedikit kepadatan otak di anterior cingulate cortex mereka, yaitu daerah yang bertanggung jawab untuk empati, kognitif dan kontrol emosi.
Anterior cingulate cortex merupakan daerah yang penting untuk EQ. Ini artinya selain menurunkan IQ, multitasking juga dapat mengganggu proses perkembangan EQ kita. Hal ini bisa jadi menyebabkan stres, depresi, kurangnya kepekaan sosial dan masalah mental lainnya.
Melakukan multitasking dalam level yang rendah, seperti untuk pekerjaan ringan dan tidak memerlukan fokus penuh, tentu tidak akan membahayakan diri kita. Beberapa pekerjaan bahkan memang menuntut skill ini, seperti pegawai call center yang mana bisa melayani lebih dari satu panggilan dalam satu waktu. Namun, bila tidak diperlukan lebih baik kita fokus pada satu hal saja dalam satu waktu saja ya fresh reader.
Dengan begitu kita bisa lebih fokus, lebih awas terhadap apa yang dialami di saat sekarang dan menghargai setiap momen. Kita juga bisa menjadi lebih tenang, karena tidak melulu sibuk memikirkan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Meskipun tidak mudah membiasakan diri menjadi single-tasker, tapi keuntungan yang diperoleh tentunya lebih worth the process kan fresh reader?
Sumber: health.cleveland.clinic, news.stanford.edu, forbes.com
Fresh Crew : Santika Lestari/Suaka
Editor Fresh : Adinda Nuurlatifah/Suaka