Imposter Syndrome: Musuh Dalam Diri yang Bikin Sulit Percaya Diri
FRESH.SUAKAONLINE.COM, Freshgrafis – Halo, fresh reader! Pernah nggak sih, kalian merasa ragu sama diri sendiri, mikir kalau orang kayak kita nggak mungkin bisa sukses, atau bahkan ngerasa nggak pantas kalau berhasil capai sesuatu? Nah, Elizabeth Cox di TED-Ed menjelaskan bahwa imposter syndrome muncul karena pikiran-pikiran tersebut.
Jangan keliru, ya! Kali ini, yang dimaksud dengan impostor bukan orang yang suka menyabotase dan sembunyi di ventilasi dalam game Among Us. Dalam konteks ini, istilah impostor merujuk pada orang-orang yang merasa tidak pantas atas keberhasilan yang mereka raih. Mereka yang mengalami imposter syndrome sering berpikir bahwa semua pencapaian dan prestasi yang mereka dapatkan karena keberuntungan, bukan karena kemampuan atau keterampilan yang mereka miliki.
Seseorang dengan imposter syndrome sering merasa sendirian, karena tak ada yang membicarakan tentang hal ini. Fenomena ini pertama kali ditemukan oleh psikolog Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes pada tahun 1978. Psikolog Klinis UGM, Tri Hayuning Tyas, S.Psi., M.A., menyebutkan dalam website ugm.ac.id bahwa sindrom ini bisa dialami oleh siapa saja, terutama mereka yang berusaha menunjukkan pencapaian akademis.
Berdasarkan jurnal Telkom University, Sekitar 70% orang di dunia diperkirakan mengalami imposter syndrome setidaknya sekali dalam hidup mereka. Fenomena ini cukup umum, terutama di kalangan generasi Z. Sayangnya, banyak dari mereka yang tidak menyadari hal ini, karena kurangnya perhatian terhadap fenomena tersebut. Masalah ini memang tidak terlihat secara fisik dan lebih berhubungan dengan aspek psikologis serta interaksi sosial.
Imposter Syndrome pada generasi Z muncul akibat rendahnya self-efficacy (kepercayaan diri). Menurut Albert Bandura, psikolog yang pertama kali mengemukakan konsep ini, individu dengan self-efficacy yang tinggi lebih cenderung merasa mampu menghadapi kesulitan dalam mengambil tindakan untuk mencapai tujuan mereka. Sebaliknya, mereka yang memiliki tingkat self-efficacy rendah lebih rentan meragukan kemampuan diri, bahkan ketika mereka berhasil meraih sesuatu yang luar biasa.
Penelitian dari American Psychological Association menunjukkan bahwa 60% generasi muda merasa tidak percaya diri, bahkan ketika sukses. Untuk mengatasi hal ini, membangun self-efficacy bisa membantu meningkatkan rasa percaya diri dan mengurangi perasaan tidak layak yang muncul akibat imposter syndrome.
Dilansir dari alodokter.com, imposter syndrome sebenarnya bukanlah gangguan mental. Namun, jika perasaan frustrasi dan ketakutan yang berlebihan tidak ditangani, dampak negatif bisa muncul. Berdasarkan informasi dari student learning stanford edu, mahasiswa yang mengalami imposter syndrome cenderung kesulitan untuk mengembangkan potensi diri, enggan berbicara di kelas, atau bahkan melewatkan kesempatan yang ada. Semua ini dapat berujung pada kelelahan mental dan emosional.
Lantas, bagaimana cara menghadapi imposter syndrome ini? Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan mengakui dan memahami perasaan yang sedang dialami. Cara ini juga bisa dilakukan dengan berbagi cerita dengan orang yang kita percayai. Selanjutnya, tanamkan afirmasi positif dalam diri untuk menghindari pikiran negatif yang sering muncul. Mengenal kelebihan dan kekurangan diri juga sangat penting, agar kita bisa menilai pencapaian dengan lebih objektif dan mengurangi rasa tidak layak. Terakhir, beri apresiasi pada setiap pencapaian, bahkan yang kecil sekalipun.
Bagi fresh reader yang merasa sedang mengalami imposter syndrome, ingatlah bahwa kalian tidak sendirian. Cobalah untuk melihat bahwa kegagalan adalah bagian dari proses, dan setiap orang yang mencapai kesuksesan pasti pernah melewati tantangan serupa. Nikmati setiap prosesnya, jangan terlalu membandingkan diri dengan orang lain, dan ingat bahwa kita semua punya potensi untuk mencapai keberhasilan.
Peneliti: Zahra Zakkiyah/Magang
Redaktur: Sabrina Nurbalqis/Suaka
Sumber: Berbagai Sumber