Menelusuri Dobrakan Stereotip Perempuan dalam Film Kartini

doc.net
Judul Film: Kartini
Sutradara: Hanung Bramantyo
Penulis naskah: Bagus Bramanti
Rumah Produksi: Legacy Pictures, Screenplay Films
Tanggal rilis: 19 April 2017
Genre: Drama, Sejarah
Durasi: 122 menit
FRESH.SUAKAONLINE.COM –“Tahukah engkau semboyanku? ‘Aku mau!’ Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan.” – R.A. Kartini.
Siapa sangka, dua kata sesederhana aku mau bisa menjadi kunci dari perjuangan panjang seorang perempuan dalam melawan sistem yang membungkam. Kutipan tersebut berasal dari buku Celoteh R.A. Kartini, yang hingga kini masih relevan sebagai penyemangat dalam berbagai bentuk perlawanan, terutama bagi perempuan.
Dalam banyak ruang di masyarakat, perempuan masih sering terkungkung dalam stereotip yang mengekang. Perempuan dianggap lemah, terlalu emosional, cocoknya di dapur, dan tak pantas berada di ruang publik yang penuh pengambilan keputusan. Stereotip semacam ini bukan hanya mengakar dalam budaya, tetapi juga diwariskan secara turun-temurun, seolah menjadi bagian dari kodrat. Film Kartini (2017) karya Hanung Bramantyo hadir sebagai perlawanan lembut namun tajam terhadap konstruksi semacam itu.
Film ini mengangkat kisah nyata Raden Ajeng Kartini, seorang perempuan bangsawan Jawa yang hidup dalam tekanan tradisi pingitan dan sistem feodal yang membatasi kiprah perempuan. Sejak kecil, Kartini memiliki semangat belajar yang besar dan kegelisahan terhadap ketidakadilan yang ia saksikan di sekelilingnya.
Ia melihat bahwa perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap laki-laki—dilahirkan untuk menikah, melayani, lalu dilupakan. Di tengah kondisinya yang hampa, ia menyelami buku-buku yang diberikan oleh sang kakak, Sostrokartono. Buku-buku itu membebaskan pikirannya dari tembok pingitan, memperluas pandangannya akan cakrawala dunia.
Lewat keberaniannya membaca, menulis, dan bersuara, Kartini mencoba menembus dinding tebal yang memisahkan perempuan dari dunia luar. Salah satu bentuk stereotip yang paling kentara dalam film adalah sistem patriarki. Kartini menentang keras sistem yang tiran dan tidak adil ini. Ia membuktikan bahwa seorang perempuan bisa menjadi pembelajar, pemikir, bahkan penggerak perubahan. Ia ingin menjadi manusia seutuhnya, yang berdaya, merasa, dan punya kebebasan memilih jalan hidup.
Melihat ketimpangan yang terjadi, Kartini tergerak untuk menyetarakan hak perempuan. Salah satu bentuk perjuangannya adalah dengan mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan dari kalangan tidak mampu. Bersama kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, ia membangun ruang belajar bagi perempuan yang sebelumnya tak dianggap layak untuk belajar.
Tak hanya itu, Kartini juga membangun kerja sama seni pahat dengan warga Jepara yang hasilnya dikirim hingga ke Negeri Kincir Angin. Dari sinilah lahir lapangan kerja dan harapan baru bagi perempuan dan masyarakat Jepara. Tak sampai di situ, di Belanda, perjuangan mereka bahkan mendapat sebutan Het Klaverblad atau “Daun Semanggi”, yang menunjukkan simbol persatuan dan perjuangan perempuan Jepara yang berdampak besar terhadap dunia pendidikan dan emansipasi wanita.
Yang menarik, perjuangan Kartini di film ini bukan hanya tentang ia melawan tradisi, tetapi juga tentang bagaimana ia membongkar pemahaman masyarakat bahwa perempuan seharusnya tidak ambisius, tidak kritis, dan tidak melawan. Film ini juga menyorot relasi Kartini dengan keluarganya. Ayahnya, Raden Sosroningrat, digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih sayang, walau terikat oleh adat. Ia tetap berusaha mendukung Kartini dan kedua adiknya.
Salah satu hal yang menonjol dalam sajian layar lebar ini adalah visualisasi pikiran Kartini, seperti saat ia terlihat berbicara langsung dengan sahabat penanya dari Belanda dan saat ia membaca buku. Dialog yang dibawakan dalam bahasa Jawa, Indonesia, dan Belanda juga terdengar alami dan tidak kaku.
Latar kota Jepara tahun 1900-an digambarkan dengan detail dan nuansa yang kuat. Mulai dari suasana rumah joglo besar dengan pilar-pilar khas Jawa, denting gamelan sebagai latar suara, hingga pakaian tradisional yang dikenakan para pemeran membuat Fresh Reader seolah sedang mengeksplorasi kehidupan di masa itu.
Kartini adalah film yang harus ditonton bukan hanya untuk mengenang sejarah, tetapi juga untuk menumbuhkan kesadaran bahwa setiap perempuan berhak atas kebebasan, kesetaraan, dan pilihan hidupnya sendiri. Seperti yang Kartini katakan, “Aku mau!” dapat membawa pada perubahan besar.
Fresh Crew: Zahra Zakkiyah/Magang
Editor Fresh: Hanifah Flora Reine/Suaka