Mengenal Munir, Aktivis HAM yang Dibunuh Di Udara
Judul Film : Kiri Hijau Kanan Merah
Tanggal Rilis: 9 Desember 2009
Sutradara : Dandhy Dwi Laksono
Durasi : 48 Menit
Produksi : Watchdoc
Genre : Dokumenter, Sejarah
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Tepat 20 tahun silam, seorang aktivis HAM Indonesia, Munir Said Thalib dinyatakan meninggal di udara dalam perjalanannya menuju Amsterdam. Kematiannya menjadi janggal sebab terjadi begitu mendadak. Hingga akhirnya otopsi dilakukan, ditemukan bahwa wafatnya diakibatkan oleh racun arsenik yang ditemukan dalam tubuhnya dalam dosis fatal.
5 tahun lalu, untuk mengenang riwayat kehidupannya, sutradara Dandhy Dwi Laksono menayangkan film dokumenter berjudul Kiri Hijau Kanan Merah yang merupakan hasil kerjasama dengan Watchdoc, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), serta Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM).
Di awal pemutaran film, ditampilkan wawancara bersama orang-orang terdekat Munir selama bersekolah, yakni kakaknya, guru sekolah dasar dan menengah, dosen mata kuliah hingga teman Munir saat ia berada di bangku perkuliahan. Guru sekolah dasar nya menceritakan sosok Munir yang pandai berdiskusi dan mempunyai wawasan yang luas walau ia bukan orang yang menonjol dalam segi akademik.
Sifatnya yang kritis dan senang berdiskusi melekat hingga ia masuk ke jenjang perkuliahan. Dosen Hukum Tata Negara, Ibnu Tricahyo mengatakan Munir pernah mendatangi ruangannya dan berdiskusi kritis mengenai sistem presidensil dan kewenangan presiden. Sama halnya dengan kawan kuliah Munir, Deddy Prihambudi mengatakan bahwa Munir merupakan sosok mahasiswa yang tidak menonjol dalam segi intelektual, namun sangat aktif dalam hal diskusi.
Setelah menyelesaikan studi S1 di Universitas Brawijaya, Munir melanjutkan karirnya sebagai relawan di LBH Surabaya. Di sana, ia aktif mengkritisi masalah perburuhan dan agraria. Ia pernah memperjuangkan atas hak cuti hamil dan hak sholat jumat yang pada saat itu sulit diberikan oleh pengusaha terhadap buruh yang bekerja. Keaktifannya di LBH Surabaya ini turut membawanya bertemu dengan kekasih hatinya.
Pada 1996, Munir menikahi seorang aktivis buruh yang bertemu dengannya di LBH Surabaya, Suciwati. Munir menjalani kehidupan rumah tangganya dengan sederhana dan dikaruniai 2 orang anak bernama Soeltan Alif Allende yang lahir di tahun 1998 dan Diva Suukyi Larasti yang lahir di tahun 2002.
Selain sosok Munir sebagai seorang aktivis HAM, ia juga dikenal sebagai pribadi yang agamis. Semasa kuliah, Munir pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam serta pernah mengisi pengajian yang mengangkat tema Islam Rahmatan Lil Alamin. Perjuangannya sebagai aktivis islam terus melekat semasa hidupnya.
Hal ini terbukti dari keaktifannya berorasi dalam aksi 1998 untuk meruntuhkan rezim Soeharto yang pada saat itu menculik 24 aktivis, seniman dan pelajar pada rentang tahun 1997 hingga 1998. Saat itu Munir tidak tinggal diam, ia mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Ia terus mengawal dan mendampingi 24 korban dan keluarga korban penculikan hingga pada April 1999, 11 anggota Tim Mawar Koppasus dinyatakan terlibat penculikan.
Tak sampai disitu, di tahun yang sama, Munir tergabung dalam Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM Timor Timur. Atas semua tindakannya, Munir mendapat penghargaan Right Livelihood Award di Swedia. Perjuangan ia tegakkan untuk keadilan berpihak pada sesama tidak peduli dengan latar belakangnya hingga ia diminta pemerintah untuk terlibat dalam perumusan sejumlah RUU terkait militer.
Kemudian, di bulan Mei 2004, Munir disponsori oleh ICCO untuk melanjutkan S2 di Belanda dan akan berangkat pada September 2004. Beberapa hari jelang keberangkatannya, Munir sempat mengadakan perpisahan dengan para korban pelanggaran HAM di kantor KontraS dan Kantor Imparsial, dan Lembaga Propartia.
Hingga hari keberangkatannya tiba, pada 6 September 2004, Munir terbang ke Belanda menggunakan maskapai Garuda GA 974. Menurut tim imparsial yang menyiapkan maskapai, Munir memilih maskapai tersebut dengan alasan penghasilan yang didapat dari Garuda akan kembali kepada negara dan terjamin keamanannya. Namun sayangnya, pesawat yang dipercayai Munir tersebut justru menjadi tempat hidupnya berakhir.
Film dokumenter ini menjadi penggambaran cerita yang jelas untuk mengisahkan kehidupan Munir dari kelahiran hingga hari wafatnya. Diiringi dengan alunan beberapa lagu yang relevan dengan filmnya, sehingga feel dalam menonton sangat terasa. Selain itu, selama film berlangsung juga diselipi beberapa tanggapan dari Musisi Legendaris, Iwan Fals, yang lagu-lagunya disebut sebagai inspirator Munir dalam perjuangannya.
Dengan menonton film ini, dapat menginspirasi orang-orang bahwa tidak selalu perlu menonjol dalam akademik maupun materi untuk membela keadilan, sebagaimana kehidupan Munir yang tetap aktif mengkritisi ketidakadilan meskipun dalam segi akademik dan ekonominya tidak menonjol. Mengangkat sudut pandang dari orang-orang terdekatnya semasa hidup, film ini kurang berfokus pada kasus kematiannya yang belum selesai diusut hingga saat ini, yang mana hingga sekarang para aktivis Indonesia masih memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas kematian Munir.
Fresh Crew: Mujahidah Aqilah/Magang
Editor Fresh: Nadia Ayu Iskandar/Suaka