Menghargai yang Tersisa Melalui Film Bila Esok Ibu Tiada
Judul film : Bila Esok Ibu Tiada
Sutradara : Rudi Soedjarwo
Penulis naskah : Oka Aurora, Nagiga Nur Ayati (novel)
Rumah produksi : Leo Pictures
Tanggal rilis : 14 November 2024
Genre : Drama, Keluarga
Durasi : 104 menit
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu. Lagu milik Iwan Fals ini sangat merepresentasikan scene pertama film Bila Esok Ibu Tiada. Menampilkan sebuah rumah yang menjadi saksi bisu dari tawa rekah dan pelukan hangat keluarga yang utuh. Bapak, ibu, dan keempat buah hati mereka merajut kebahagiaan dengan harmoni. Hingga suatu ketika, kesenangan itu sirna sebab kepergian sang kepala keluarga untuk selamanya. Rasa kehilangan itu bagaikan badai yang sukses menyapu bersih warna-warni kehidupan mereka.
Latar kemudian beralih ke tiga tahun setelah peristiwa duka tersebut. Meski sang ibu telah berusaha membiasakan diri, ekspresi wajahnya yang terkadang kosong dan tatapan mata yang sayu menggambarkan kerinduan mendalam yang tak terucapkan. Ditemani alunan musik latar sendu, penonton diajak untuk merasakan kesepian dan kehilangan yang dirasakan ibu.
Kini, masing-masing anak sibuk dengan dunianya sendiri. Ranika, si sulung yang pekerja keras, tenggelam dalam rutinitas pekerjaannya. Rangga, dengan kecintaannya terhadap musik menyibukkan diri dengan terus-menerus memproduksi lagu tanpa kenal waktu. Rania, si aktris muda yang sibuk mengejar popularitas. Kemudian si bungsu, Hening, mahasiswa yang terlarut dengan lingkungan pergaulannya.
Tenggelam dengan kehidupan masing-masing membuat ikatan keluarga mereka semakin renggang. Terbukti saat hari ulang tahun ibu, hanya tante yang ingat akan momen istimewa tersebut, sedangkan keempat anaknya sama sekali tidak ingat. Sang tante kemudian berinisiatif menghubungi Ranika, mengingatkannya tentang hari spesial ini. Ranika sempat menyalahkan diri sebelum menghubungi adik-adiknya, mengajak mereka untuk merayakan ulang tahun ibu di rumah orang tua mereka.
Senyum sumringah merekah di wajah ibu saat melihat keempat anaknya kembali berkumpul. Namun suasana berubah ketika Ranika, Rangga, Rania, dan Hening saling menyalahkan karena hal sepele. “Ayo ayo ayo, ini ulang tahun ibu, anak-anak tercinta,” tegur ibu. Sayangnya, seakan tak mengindahkan teguran itu, perdebatan mereka masih berlanjut hingga akhirnya ibu meminta mereka untuk segera makan bersama demi menenangkan suasana.
Hari-hari selanjutnya ibu jalani dengan biasa, yakni memahami kesibukan anak-anaknya. Ibu sudah terbiasa menjalani hari seorang diri, termasuk saat sakit dan harus ke rumah sakit. Setelah diperiksa, dokter mendiagnosis ibu mengalami vertigo yang tidak ringan. Dokter kemudian menyarankan agar ibu tidak beraktivitas banyak, terlebih bepergian sendirian. Namun dengan senyum khasnya, ibu menegaskan bahwa ia sudah terbiasa sendiri.
Sepulang dari rumah sakit, ibu memilih untuk berbagi beban hatinya hanya pada sang adik. “Gak bisa sampein ke anak-anak. Gak mau bikin anak-anak mikir,” ungkapnya. Dalam pelukan sang adik, ibu juga mengungkapkan keinginannya untuk berziarah ke makam suaminya di Pekalongan. Ia enggan memberi tahu anak-anaknya karena mereka pasti khawatir, apalagi ibu ingin pergi sendirian.
Selang beberapa hari, ibu memutuskan untuk pergi ke Pekalongan seorang diri. Tanpa sepatah kata pun kepada anak-anak, ibu meninggalkan surat dokter di atas meja sebagai satu-satunya pesan. Sepanjang perjalanan, tatapan kosong ibu seakan menembus waktu, mengingat kembali masa lalu. Ditemani kenangan manis dan pahit, ibu akhirnya tiba di makam sang suami. Di sanalah air mata yang selama ini dibendung pecah, membasahi bumi yang menjadi peristirahatan terakhir kekasihnya.
Menyadari ibu tidak ada di rumah, kekhawatiran meliputi hati Ranika, Rangga, Rania, dan Hening. Mereka lagi-lagi ribut, saling menyalahkan karena lalai menjaga ibu. Ranika jadi sasaran utama kemarahan adik-adiknya. Karena sebagai anak sulung, mereka menganggap Ranika seharusnya tahu segala hal tentang ibu.
Di tengah perselisihan, tante mereka tiba. Namun kedatangannya justru memicu perdebatan baru. Anak-anak menyalahkan tante karena membiarkan ibu pergi sendiri dalam keadaan sakit. Tante pun disalahkan karena tidak memberitahu hal itu pada para kemenakannya. Di tengah kekacauan itu, ia dengan tegas menjawab “Berhenti bicara dan mulai mendengarkan.” Akankah Ranika, Rangga, Rania, dan Hening kembali akur? Fresh Reader dapat menyaksikan kelanjutan kisah keluarga mereka melalui film ini.
Kehebatan film ini tak lepas dari penampilan para aktor ternama yang sudah tidak diragukan lagi kualitas aktingnya. Setiap ekspresi wajah dapat ditangkap dengan cermat. Terlebih penggunaan teknik big close-up shot yang fokus pada wajah, menyampaikan emosi yang mendalam meski tanpa dialog. Sinergi yang apik antara akting memukau para pemain dengan iringan musik latar yang menyayat hati, seakan mengajak penonton masuk ke dalam film.
Sayangnya, potensi cerita yang besar dalam film ini tidak sepenuhnya tergarap dengan maksimal. Alur cerita terasa berlarut-larut dalam konflik, sedangkan penyelesaiannya terkesan terlalu cepat. Adapun penggunaan teknik zooming yang kurang halus berpengaruh terhadap kenyamanan penonton dan mengganggu penerimaan emosi yang ingin disampaikan film.
Bila Esok Ibu Tiada hadir sebagai pengingat tentang pentingnya orang-orang di samping kita saat ini, terutama keluarga. Film ini juga mengajarkan untuk merendahkan ego, meluangkan waktu berkualitas bersama keluarga, dan menghargai setiap momen yang dimiliki. Dengan cerita yang hangat dan menyentuh, film ini sangat cocok untuk ditonton bersama keluarga sebagai sarana untuk mempererat hubungan. Bagaimana, Fresh Reader? Tertarik merasakan emosi yang sama? Yuk, tonton Bila Esok Ibu Tiada sekarang!
Fresh Crew : Mahayuna Gelsha S/Suaka
Editor Fresh : Nadia Ayu Iskandar/Suaka