Menyempurnakan Ramadan Tanpa Perilaku Konsumtif

Ilustrasi Oleh: Yazid Rizki Agung/Suaka
Oleh: Hasna Zahra Annabilah/Magang*
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Bulan Ramadan selalu identik dengan aktivitas berpuasa, yang mana hal tersebut tentunya bersinggungan langsung dengan kegiatan konsumsi. Akan tetapi, menariknya kegiatan konsumsi di bulan Ramadan terkadang dimaknai bukan hanya sebatas pemenuhan kebutuhan pokok yang selaras dengan skala prioritas, namun kerap kali melibatkan strata sosial dan pemenuhan anggapan khalayak.
Telah menjadi hal lumrah, jika perilaku konsumtif di bulan Ramadan cenderung lebih meningkat daripada biasanya. Menurut survei yang dilakukan oleh salah satu platform baca dan digital Cabaca bersama Jakpat pada Maret 2024 lalu, sebanyak 56,78 persen dari 236 responden menyatakan bahwa jumlah pengeluarannya di bulan Ramadan lebih tinggi daripada bulan-bulan lainnya.
Pengeluaran tambahan di bulan Ramadan tersebut dapat berasal dari pembelian makanan dan minuman yang berlebihan ketika sahur dan berbuka puasa, berbelanja pakaian untuk Lebaran, membeli perlengkapan shalat, belanja hampers Lebaran, dan lainnya. Belum lagi ditambah dengan banyaknya agenda buka bersama yang tentunya memakan pengeluaran yang cukup menguras dompet.
Diskon di Marketplace Menjadi Penyebab Konsumerisme
Pada bulan Ramadan ini, beberapa faktor yang menjadi penyebab meningkatnya perilaku konsumtif masyarakat adalah berkaitan dengan pengaruh hubungan sosial. Salah satunya adalah dengan cenderung bersikap ingin mengikuti tren yang sedang ada agar dapat tampil menarik dan memenuhi ekspektasi orang lain. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya ialah pengaruh sosial media dan kampanye periklanan
Melalui semarak Ramadan yang banyak diisi dengan iklan-iklan menggiurkan bercitra Islami, bukan tak mungkin masyarakat akan mudah terdikte untuk berbelanja melebihi kapasitas kebutuhan dan mudah disetir oleh hal-hal yang sedang viral. Lagi-lagi, hal ini menjadi tantangan bagi masyarakat Muslim dalam menggunakan teknologi digital.
Terlebih di era digital saat ini yang menampilkan ragam tren dan memberikan kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Kecanggihan teknologi marketplace juga mendukung kegiatan berbelanja menjadi lebih instan dan cepat. Terutama saat bulan Ramadan tiba, bermacam slogan menarik seperti spesial harga Ramadan, potongan khusus menyambut bulan suci, clearance sale Lebaran, dan lain sebagainya tentu menjadi hal lumrah yang kerap kita temukan dan dapat menjadi pemantik selera berbelanja di bulan puasa.
Hal tersebut selaras dengan hasil riset yang dilakukan oleh Pemimpin Teknologi Periklanan Global, The Trade Desk (Nasdaq: TTD), menunjukkan bahwa satu dari tiga masyarakat Indonesia, yakni sebanyak 32 persen orang berbelanja kebutuhan pangan lebih banyak pada bulan Ramadan. Jumlah tersebut mengalami penaikkan angka sebanyak 4,5-5,5 persen dari tahun sebelumnya. Fenomena tersebut didorong oleh optimisme terhadap kondisi ekonomi yang membaik.
Kebiasaan konsumtif yang meningkat di bulan Ramadan sebetulnya tidak otomatis di kategorikan salah, namun hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi umat Muslim dalam pelaksanaan ibadah Ramadan. Alih-alih menjalankan ibadah puasa dengan khusyuk, besar kemungkinan kita malah terjerumus dan terlena dalam memenuhi kepuasan duniawi semata.
Terlebih di penghujung Ramadan, kita akan menjumpai hari raya Idulfitri dimana pada tahun-tahun sebelumnya gejala konsumerisme akan semakin menggila pada momen ini. Alih-alih meraih fitri, orang-orang akan terfokus pada simbol pemakaian barang-barang serba baru dan serba trendy, sehingga cenderung serakah dalam membeli barang-barang di luar kebutuhannya agar tetap terlihat modis.
Esensi Puasa dan Hari Raya yang Sesungguhnya
Berangkat dari hakikat puasa itu sendiri yang memiliki arti menahan, lantas jika di bulan Ramadan ini kita malah berbelanja secara berlebihan, maka hal tersebut bertentangan dengan definisi puasa itu sendiri. Maka dari itu, diperlukan upaya untuk menahan diri dari perilaku konsumtif selama bulan Ramadan, karena ibadah puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada itu.
Melalui ayat-ayat Al-Qur’an mengenai puasa, Allah memberi interpretasi lebih jauh bahwa puasa juga merupakan waktu untuk merefleksikan nilai-nilai seperti kesederhanaan, pengendalian diri, dan kepedulian terhadap sesama. Ini merupakan hikmah yang bisa di ambil dari bulan Ramadan. Dengan memberikan peluang terhadap diri sendiri untuk menahan nafsu dan berfokus kepada apa-apa yang menjadi prioritas dalam pemenuhan kebutuhan.
Adapun dalam memaknai Idulfitri itu sendiri, Ulama Indonesia, Quraisy Shihab menginterpretasikan Hari Raya berkaitan dengan tujuan yang dicapai melalui kewajiban berpuasa yakni mencapai ketaqwaan dengan jalan fitrah. Memang betul adanya, Allah memerintahkan manusia untuk mensyukuri nikmat sebaik-baiknya di hari yang fitrah ini, namun tetap dalam koridor dan tidak berlebih-lebihan.
Menahan diri dari perilaku konsumtif di bulan Ramadan juga mencerminkan nilai-nilai keagamaan. Ramadan adalah bulan di mana umat Islam dianjurkan untuk lebih memperhatikan kebutuhan orang-orang yang kurang beruntung dan berbagi rezeki dengan mereka. Dengan membatasi konsumsi pribadi, kita dapat mengalihkan lebih banyak sumber daya untuk membantu mereka yang memang membutuhkan bantuan rezeki.
Stres Keuangan, Food Waste, dan Fast Fashion Menjadi Ancaman
Perilaku konsumtif dari awal Ramadan hingga menjelang Idulfitri dapat menimbulkan beberapa dampak signifikan, salah satunya ialah memicu tekanan finansial. Hal ini dapat menyebabkan stres keuangan dan menimbulkan beban tambahan, terutama jika pembelian tersebut dilakukan secara impulsif tanpa perencanaan keuangan yang matang.
Permasalahan lainnya yang dapat ditimbulkan adalah memberi dampak negatif pada lingkungan. Terutama, jika pembelian tersebut menghasilkan limbah berlebih atau memicu penggunaan sumber daya alam yang berlebihan.
Melansir dari hasil riset yang dilakukan oleh Tirto, setelah melalui bulan Ramadan 2023 lalu, pembuangan sampah organik berupa sisa makanan mendominasi komposisi sampah tertinggi di Indonesia, yaitu mencapai 41,2 persen. Lalu, sampah plastik juga turut menyumbang sebanyak 18,2 persen, diikuti dengan sampah rumah tangga yang mencapai 39,2 persen. Seusai Ramadan sekarang, jumlah pembuangan limbah pasti akan meningkat mengingat jumlah anggaran belanja yang meningkat pula.
Sebagaimana lumrahnya, perayaan hari raya Idulfitri marak dengan pembelian pakaian, sehingga permintaan terhadap hal tersebut sudah pasti meningkat. Bahkan, menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia pada tahun 2022, permintaan dapat naik hingga 200–300%. Hal ini membawa dampak positif peningkatan daya beli pada produk pakaian. Namun juga membawa dampak negatif yakni peristiwa fast fashion.
Mengutip pernyataan dari laman Ibecfebui.com, fast fashion adalah konsep tren fashion design yang sangat cepat berubah sehingga menuntut produsen untuk mengikuti pola produksi lalu menjual dengan harga produk yang murah, pakaian yang sudah tidak sesuai tren seringkali dibuang, tidak digunakan, tidak didonasikan dan tidak didaur ulang. Hal ini meningkatkan limbah yang menyebabkan polusi air, tanah, dan udara yang dapat merusak lingkungan.
Pentingnya Menetapkan Batasan Diri
Persoalan yang berangkat dari perilaku konsumtif yang menggila ini tentu dapat menimbulkan dampak yang fatal, salah satu bentuk upaya penanggulangan yang bisa dilakukan ialah seminimal-minimalnya mengedukasi diri sendiri dan sekitar dengan memperbarui pengetahuan tentang isu-isu keberlanjutan dalam industri fashion dan mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga meminimalisir dampak negatif konsumtif pakaian.
Maka dari itu, beberapa upaya dapat kita lakukan untuk meminimalisir dampak fatal yang dapat terjadi, yakni dengan kembali menyusun skala prioritas Ramadan, kita dapat membuat plan untuk lebih banyak mengeluarkan anggaran sedekah dan berzakat, ketimbang harus berbelanja berlebihan.
Ada baiknya kita membuat rincian anggaran terlebih dahulu untuk berbelanja selama periode Ramadan hingga Hari Raya, dengan menetapkan batasan yang jelas untuk diri sendiri agar tidak tergoda untuk membeli barang-barang yang tidak perlu atau di luar kemampuan finansial. Sebagai sarana menuju pembentukkan karakter yang lebih baik, hal ini merupakan upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat Muslim. Melalui mengadopsi sikap yang lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap apa yang dikonsumsi selama Ramadan hingga Idulfitri.
* Penulis merupakan Mahasiswi UIN SGD Bandung Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Semester Empat serta Anggota Magang LPM Suaka