Mozaik Perlawanan Kolonialisme di Balik Peta Nama Jalan Indonesia
FRESH.SUAKAONLINE.COM, Freshgrafis – Pernahkah Fresh Reader melintasi Jalan Dipatiukur dan bertanya-tanya siapa sebenarnya nama itu? Di balik riuh kendaraan dan gedung-gedung yang berdiri megah, tersimpan sebuah kisah. Dipatiukur adalah tokoh bersejarah dari tanah Sunda, seorang pejuang yang kini namanya diabadikan di jalanan kota Bandung. Ia bukan sekadar nama, melainkan simbol perlawanan terhadap masa lalu yang berusaha dilupakan.
Jika kita membuka peta kota-kota di Indonesia, kita akan menemukan kisah serupa. Banyak jalan di Indonesia yang namanya diambil dari pahlawan atau tokoh lokal. Seolah peta kota menjadi mosaik perlawanan yang membisikkan sejarah kepada siapa saja yang melintas. Pergantian nama jalan setelah kemerdekaan bukanlah tindakan sepele. Ia adalah upaya untuk mencabut akar-akar kolonialisme yang masih menyelip di sudut negeri.
Mengutip Koran Gala, nama Dipatiukur baru resmi digunakan pada tahun 1950 setelah keputusan dari sidang Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bandung (dulu bernama Gemeenteraads Vergaderingen). Sebelumnya, jalan ini dikenal sebagai Beatrix Boulevard, sebuah nama pemberian pemerintah kolonial Belanda.
Lebih dari sekadar perubahan administratif, penamaan jalan adalah pernyataan sikap. Inggit dan Heri dalam Jurnal Media Komunikasi Geografi tahun 2024 menjelaskan bahwa nama jalan menyimpan ingatan atas peristiwa, budaya, tokoh, bahkan semangat zaman. Secara sadar atau tidak, masyarakat sebuah kota hidup berdampingan dengan jejak-jejak tersebut, menjadikannya bagian dari siapa mereka.
Setelah kedaulatan Indonesia diakui secara resmi pada akhir 1949, upaya mengganti nama-nama jalan kolonial dilakukan secara serempak di berbagai kota besar. Di Jakarta, pada 1 Maret 1950, jalan-jalan yang sebelumnya bernama Belanda seperti Koningsplein dan Rijswijklaan diganti menjadi Medan Merdeka dan Jalan Veteran. Di Surabaya, penggantian nama jalan juga dilakukan pada bulan yang sama dengan mengganti nama kolonial seperti Simpangscheweg menjadi Jalan Pemuda.
Di Bandung, meskipun prosesnya tidak secepat di Jakarta dan Surabaya, pembahasan perubahan nama jalan mulai digelar dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bandung pada 3 Maret dan 28 April 1950. Jalan-jalan yang dulunya mengusung nama bangsawan Belanda perlahan diubah, digantikan oleh nama pahlawan lokal dan tokoh perjuangan nasional.
Penjajahan yang dilakukan Belanda tentu berbekas di ingatan masyarakat Indonesia. Ir. Sukarno, sebagai sosok yang dikenal keras terhadap paham kolonialisme dan imperialisme, mengupayakan berbagai cara untuk menghapus nilai-nilai koloni yang masih tertinggal di Indonesia. Usaha tersebut tidak hanya mencakup hal besar seperti pidato di forum internasional atau mengusung Konferensi Asia Afrika, tetapi juga termasuk tindakan sekecil mengubah nama jalan.
Kini, setiap kali kita melangkah di Jalan Dipatiukur, Jalan Dewi Sartika, atau Jalan Hasanuddin, kita sedang berjalan di atas kisah-kisah yang mengingatkan bahwa bangsa ini pernah dijajah, pernah terluka, tapi tidak pernah kehilangan martabatnya. Nama-nama itu berbisik dalam setiap langkah, mengingatkan kita bahwa tanah ini adalah milik kita untuk dijaga bersama.
Peneliti: Rafif Asya Andhika/Magang
Redaktur: Sabrina Nurbalqis/Suaka
Sumber: Berbagai Sumber