Netizen Indonesia: Berselancar Medsos Lancar tapi Membaca Ambyar

Oleh Ghaida Rahmani*
FRESH.SUAKAONLINE.COM- “Don’t want to be an American idiot… One nation controlled by the media…Information age of hysteria…It’s going out to idiot America”Merasa tak asing dengan penggalan lagunya? Ya, lagu American Idiot yang dipopulerkan oleh Greenday rasanya sangat selaras dengan apa yang sedang terjadi pada masa kini, terpaut dengan waktu rilisnya yaitu delapan belas tahun yang lalu. Masa kini, masa dimana orang-orang bisa melihat dunia lewat jendela media sosial. Terlebih lagi di masa pandemi yang masih belum usai, orang-orang tak punya pilihan lain selain melihat dunia dari media sosial.
Membuat yang jauh menjadi dekat dan yang dekat menjadi jauh. Pada dasarnya, itulah prinsip media sosial. Memberikan dampak positif memang, karena membuat orang-orang dapat berkomunikasi secara mudah, berita dan isu yang sedang naik pun dapat dibaca dan diakses secara mudah pula. Media Sosial rasanya menjadi pusat pelabuhan dunia dan kapal-kapal merupakan perumpamaan untuk setiap informasi yang berlabuh. Namun ada satu hal yang pasti, “Adek, Media Sosial tidak selamanya indah dek.”
Seringkali mendengar berita yang tak tahu asal usulnya? Tahu-tahu ada saja teman yang membagikan informasi itu lewat aplikasi telepon hijau, mutual yang seringkali lewat di timeline aplikasi burung biru, atau yang paling parah informasi dari ibu-ibu dan bapak-bapak yang dibagikan dari aplikasi F berwarna biru. Bibit, bebet, bobot-nya tidak diketahui, tapi entah mengapa bisa saja membuat yang membacanya gempar dan tidak jarang menjadi informasi yang misleading.
Contohlah, hoax Ratna Sarumpaet yang dibagikan di Facebook. Dikatakan bahwa dirinya dianiaya oleh sekelompok orang yang tak dikenal. Dirinya tidak mau diliput siapapun karena takut dan trauma. Apalagi dengan dukungan cuitan pembenaran dari banyak politikus di Twitter, isu ini pun menjadi lebih menggemparkan. Atau ambil juga isu yang sudah lama tapi sangat melekat terutama di kalangan anak muda yakni tagar “Justice For Audrey”. Yah, isu yang sempat membuat gempar dengan postingan yang sering dibagikan di media sosial.
Selain isu, ada juga informasi tak berdasar yang seringkali dibagikan di media social, salah satunya Facebook. Dari tahun 2020 sampai sekarang, informasi yang sering dibagikan adalah statement bahwa Covid tidak berbahaya, Covid adalah hoax, atau bagaimana cara sembuh dan terhindar dari Covid tanpa harus memakai masker. Ada juga pernyataan bahwa omicron tidak berbahaya, vaksin merupakan konspirasi, dan masih banyak lagi yang membuat kepala geleng-geleng.
Adapula hal lain selain isu dan informasi yang tidak berdasar. Topik yang kini sering menyerang audiens dari kalangan muda. Bagaimana media sosial menormalisasi para penonton dan pembacanya menjadi ‘sempurna.’ Tidak boleh cacat fisik, berkedok dengan ‘berpenampilan menarik’ padahal harus berwajah estetik. Harus Tangguh, berpengalaman, dan berprestasi karena kalau tidak akan hempas entah kemana.
Melihat para crazy rich, membuat yang tidak ‘punya’ mengadu nasib. Melihat keluarga harmonis, membuat yang ‘punya’ tidak kalah untuk mengadu nasib. Semuanya mengadu nasib, akhirnya semua menjadi julid. Semua orang iri pada semua orang. Iri pada setiap orang yang kebetulan lewat di timeline media sosial. Semua orang insecure, depresi, yang akhirnya akan bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah aku layak?”
Setiap insan dihadapkan pada ekspetasi yang setinggi langit dengan jalan yang berbelit-belit. Semua manusia terjebak pada labirin Media Sosial. Setelah keluar dari labirin itu, mereka terjebak lagi, dan terjebak lagi setelah membuka aplikasi-aplikasi yang bernama ‘Media Sosial.’ Semua manusia terperangkap dalam jebakan itu, jebakan yang tidak akan ada habisnya jika tidak memiliki filterisasi dan integritas dalam diri.
Selayaknya makanan, media sosial juga perlu dipilah-pilih
Banyak yang memakai sosial media, tapi tidak banyak yang memiliki minat baca. Banyak yang melihat Judul artikel yang dibagikan, tetapi tidak banyak yang membaca keseluruhan. Banyak yang mencari informasi, tapi tidak banyak yang mencari darimana informasi itu berasal. Iri, dengki, julid, banyak? Banyak.
Kekurangan minat membaca masih menjadi problematika yang serius pada orang Indonesia. Menurut UNESCO, minat literasi Indonesia sangat rendah, yaitu hanya 0,001%. Kemampuan memilah milih informasi juga masih kurang. Padahal seharusnya, ketika menggunakan Media Sosial yang layaknya seperti makanan, kita harus bisa memilah milih mana yang layak dan tidak layak untuk dikonsumsi. Informasi itu seperti takaran gizi, kita harus tahu mana yang baik dan mana yang tidak untuk badan dan pikiran kita.
Untuk menjawab bagaimana bisa teratisanya misleading dalam pemberitaan, semua itu kembali lagi pada membaca. Lebih baik membaca pada artikel yang sudah terbukti integritasnya sebagai media penerbit berita, daripada percaya langsung saja pada apa yang dibagikan di Media Sosial oleh orang yang bahkan kita tidak tahu itu siapa. Sebagai pembaca, kita juga harus bisa memposisikan diri kita sebagai pihak yang netral apabila informasi tersebut tidak jelas asal-usulnya dengan bukti yang tidak nyata. Jangan mudah men-judge orang, kita bukan hakim.
Intinya, berbagai informasi yang kita peroleh dari media sosial harus kita pilah-pilih dan kaji ulang. Jika Media Sosial itu Pelabuhan, kita adalah Polisi yang menjaga mana kapal yang nakal dan mana kapal yang layak untuk masuk. Jika Media Sosial itu makanan, kita adalah koki bintang lima dan ahli gizi yang menjaga keindahan, kelezatan, dan gizinya. Jika Media Sosial itu teknologi, kita adalah manusia yang berakal dan berintegritas.
*Penulis merupakan Mahasiswa UIN SGD Bandung Jurusan Manajemen Keuangan Syariah Semester Empat serta anggota magang LPM Suaka