Seabad Pram dan Kiprahnya dalam Kesusastraan Indonesia

nawacitapost.com
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Tepat pada 6 Februari 2025 diperingati sebagai 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer. Dalam perayaan satu abad Pram ini, banyak orang mengenangnya dengan berbagai cara, diantaranya pemancangan nama jalan Pramoedya Ananta Toer dan pelaksanaan Festival “Se-Abad Pram” di Blora pada 6-8 Februari 2025. Tetapi, kenapa ya karya-karya Pram begitu dikenang?
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan,” menjadi salah satu kutipan memukau yang dituturkan Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia. Nama Pramoedya Ananta Toer atau Pram, begitu sapaan akrabnya, tentu tidak asing di telinga Fresh Reader, bukan? Sosok yang terkenal bukan hanya karena karya-karyanya, melainkan juga dengan lika-liku kiprahnya dalam menulis.
Pram merupakan sastrawan legendaris Indonesia yang tak hanya diakui di dalam negeri, tetapi juga di dunia internasional karena pemikiran dan karyanya. Ia sudah menulis lebih dari 50 karya dan telah diterjemahkan dalam 42 bahasa. Karya-karyanya membawanya memangku 16 penghargaan, diantaranya Penghargaan Balai Pustaka (1951), Magsaysay Award dari Filipina (1980), dan gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan (1999).
Prestasi yang mentereng tidak selalu disertai sepak terjang kepenulisan yang mulus. Pram berkali-kali ditahan dan diasingkan, naskahnya dirampas, serta beberapa bukunya sempat dilarang beredar. Dikutip dari Tempo dan Kompasiana, penahanan pertamanya terjadi pada masa kolonial di Salemba (1947-1949) karena perlawanannya terhadap Belanda, kemudian di Bukittinggi (1949-1951), Glodok (1951-1952), dan penahanan terpanjangnya yang tanpa proses pengadilan di masa Orde Baru (1965-1979) saat meletusnya G30S/PKI.
Penahanan tersebut diduga karena keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang didasari bergabungnya Pram dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI. Puncaknya, Pram diasingkan ke Pulau Buru selama 10 tahun sebelum dinyatakan tidak bersalah pada tahun 1979.
Pengasingannya ini tak menjadikan jari-jemarinya kaku. Ia tetap menelurkan banyak karya, meskipun hanya berupa cerita kepada teman-temannya saat awal masa pengasingan. Baru pada tahun 1973, Pram menuangkan ide-idenya dengan mesin tik pemberian Jenderal Soemitro. Masterpiece yang lahir di Pulau Buru diantaranya Tetralogi Buru yang terdiri dari empat judul buku: Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).
Sayangnya, Tetralogi Buru ini dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung pada tahun 1980-an karena diduga berisi ajaran komunis. Kejadian ini disusul pelarangan buku lainnya seperti Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995) dan II (1996), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), dan Larasati (2000). Tetapi, jangan khawatir karena sekarang pelarangan tersebut sudah dicabut. Kini, Fresh Reader bisa membaca buku-buku tersebut secara bebas. Lebih dari itu, kita dapat meramaikan apresiasi tulisan-tulisan Pram di Festival “Se-Abad Pram”.
Dikutip dari Tempo, festival dengan tema #SeAbadPram tersebut menyelenggarakan berbagai kegiatan, seperti seminar khusus peran dan pemikiran Pram, diskusi, membaca naskah drama, pementasan teater, pemutaran film, pameran seni patung dan sketsa, serta screening film dokumenter. Selain itu, perayaan ini turut dimeriahkan dengan konser musik anak semua bangsa dan monolog singkat yang dibawakan Happy Salma. Deretan buku-buku karya Pram yang dicetak ulang pun dapat pengunjung temukan di festival ini.
Tidak sampai di situ, ada kabar baik, nih untuk Fresh Reader penikmat karya Pram. Pada 19 Februari 2025, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) akan menerbitkan ulang series Tetralogi Buru. Selain itu, Penerbit Lentera Dipantara juga akan menerbitkan dua buku baru, yaitu Mata Pusaran dan Musim dan Kawin di Nusa Kambangan, serta melakukan cetak ulang buku-buku karya Pram lainnya yang sudah langka.
Tak heran, peringatan seabad Pram ini dirayakan dengan banyak agenda kegiatan. Sebagaimana kiprahnya dalam kesusastraan Indonesia, Pram telah banyak mengecap asam garam kehidupan. Penahanan dan pengasingan yang telah menderanya tak menjadi penghalang Pram untuk berhenti menulis. Semangatnya tak pernah padam, sebagaimana katanya, “Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin. Akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca).
Sumber: Tempo, Kompasiana, Ensiklopedia Kemendikbud, CNN Indonesia, dan Tirto.id
Fresh Crew: Sofa Nur Alfiah/Magang
Editor Fresh: Hanifah Flora Reine/Suaka