Sulli dan Depresi yang Dianggap Tabu

Dok. Suaka
Oleh Ai Siti Rahayu*
Senin 14 Oktober 2019, Sulli secara tragis mengakhiri hidupnya di usia 25 tahun. Saya sendiri baru mendengar berita ini, ketika teman saya yang juga seorang penggemar K-pop memberikan berita duka dengan menelepon langsung kepada saya. Ada rasa tidak percaya ketika info ini datang, sama rasanya ketika Jonghyun meninggal di tahun sebelumnya.
Menjadi bagian dari penggemar K-pop sejak dulu, rasanya berat untuk percaya pada berita ini. Beberapa kali saya menunggu konfirmasi dari SM Entertainment yang merupakan perusahaan tempat menaungi Sulli, hanya untuk membuktikan fakta meninggalnya Sulli. Dan beberapa saat kemudian SM Entertainment mengonfirmasi kebenaran meninggalnya Sulli, yang mau tidak mau membuat saya harus percaya.
Sulli sendiri mengawali karirnya sebagai seorang aktris pada 2005 ketika debut menjadi aktris cilik di drama Song of The Prince. Sulli kemudian menjadi trainee di SM Entertainment hingga akhirnya debut dalam girlband f(x) pada 2009 dan keluar dari f(x) di tahun 2015.
Tidak ada yang salah dengan Sulli, saya selalu menikmati dan mengidolakan dia di f(x). Sulli adalah seseorang yang berbakat baik dalam musik ataupun akting. Dalam sebuah interview, Sulli pernah mengatakan bahwa dia memiliki gangguan mental panic disorder semenjak kecil. Sulli seringkali merasa bahwa banyak orang yang meninggalkannya hingga akhirnya dia selalu merasa kesepian. Baginya menjadi seorang idol adalah passionnya, tetapi yang sulit adalah ketika dia dituntut untuk menjadi seseorang yang sempurna.
Korea sendiri adalah negara yang sulit untuk menerima pendapat yang berada di luar batas normal dasar Korea. Sulli bagi saya adalah seorang feminis yang berani, seringkali ia menyuarakan sesuatu hal yang dianggap tabu bagi seorang idol. Seperti hal nya mengenai bra, Sulli beberapa kali mengatakan dan memposting tentang tidak perlunya penggunaan bra jika memang perempuan merasa tidak nyaman.
Sikap berani inilah yang selalu dianggap aneh oleh netizen. Seorang artis di Korea dituntut untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya. Mereka dilarang untuk mengutarakan perasaan mereka, dilarang untuk berpihak pada satu pihak, membagikan aspirasi politik mereka atau juga membagikan outside perspektif seperti opini feminis yang dilakukan Sulli.
Banyak sekali komentar negatif yang dtujukan kepada Sulli, terlebih ketika dia mengaku berpacaran, kemudian ketika dia keluar dari f(x), perihal aktingnya, perihal opininya yang terbuka dengan isu kesehatan mental yang juga mungkin berhubungan dengan kondisi jiwanya pribadi, dan banyak sekali hal dalam hidupnya yang selalu menjadi sorotan untuk dihujat.
Semua orang bisa melihat komentar negatif itu di Instagram pribadi Sulli. Komentar itu ada dengan berbagai macam bahasa, bahasa korea, bahasa inggris bahkan bahasa Indonesia. Banyak orang yang menganggap Sulli gila, aneh bahkan ketika dia menceritakan depresi yang dideritanya. Sulli terus menerus dituntut menjadi pribadi yang harus sesuai dengan norma dan standar korea agar bisa diterima kembali oleh masyarakat. Dan itulah yang membuat Sulli merasa kesepian, terbuang dan kehilangan identitas.
Masyarakat memang seperti itu, Indonesia juga seperti itu. Terkadang saya juga seringkali merasa miris ketika seseorang mengeluh dengan kehidupannya, orang yang menjadi tempat curhatannya akan menanggapi dengan “cuman masalah gitu doang, hidup itu susah kamu gak akan bisa bertahan kalau banyak mengeluh” atau bahkan dengan playing victim dan membandingkan dengan kehidupannya yang kelam dan terkadang di lebih-lebihkan juga.
Depresi itu bukan hal sepele, tetapi orang-orang sekitar memang terbiasa memandang orang lain aneh ketika seseorang itu beberapa kali menemui psikolog misalnya. “pasti dia gila ya?” “kayanya dia gangguan jiwa nih” “dia kenapa sih kok kelakuannya kaya gitu?”. Komentar seperti itu adalah komentar yang seringkali dikeluarkan ketika melihat orang depresi. Seolah memperlihatkan kelemahan adalah suatu hal yang salah, tabu dan menyalahi aturan. Melabeli seseorang dengan status “gila” tanpa mau membuka pikiran tentang mungkin saja apa yang sebenarnya terjadi pada hidupnya, adalah atas dasar campur tangan dari stigma masyarakat.
Dalam menyikapi permasalahan bunuh diri pun banyak orang yang masih belum bisa terbuka pemikirannya. Ada beberapa komentar yang menyalahkan masalah agama, mengkafirkan dan menyalahi keimanan Sulli. “Orang Korea nggak punya agama sih, gak punya iman, kafir makanya bunuh diri” sungguh komentar yang sok religius.
Banyak orang yang menghubungkan kasus bunuh diri dengan renggangnya hubungan antara manusia dengan Tuhan dan permasalahan keimanan juga. Lagi-lagi masyarakat melabeli sesuatu yang salah, yaitu depresi dengan iman. Kamu depresi, kamu kurang iman kamu kurang syukur. Pengetahuan minim tentang kesehatan inilah yang melabeli depresi dengan “lemah iman” dan “lemah mental”. Padahal bunuh diri atas nama iman juga terjadi, karenanya menghubungkan tanpa iman dengan bunuh diri juga harus ditiadakan.
Depresi Sulli juga disebabkan karena dirinya seringkali diobjektifikasi. Tetapi beberapa media gagal berempati dan mem-framing berita dengan tujuan sensasi. Seperti apa yang ditulis oleh salah satu media dengan artikel berjudul “4 Potret Seksi Sulli Eks f(x), Idola Korea yang Tewas Bunuh Diri”. Seharusnya media bahas prestasi, gali sisi kemanusiaan, dan awasi isu depresi, bukan provokasi.
Baik itu di Korea, di Indonesia atau bahkan di seluruh dunia. Kesehatan mental masih dianggap tabu dan tidak terima. Mereka yang sedang dalam kesulitan dipaksa untuk kehilangan identitas, dianggap kutukan bahkan dianggap dramatisir. Setiap orang memiliki masa lalu dan permasalahan yang berbeda, dengarkan permasalahan mereka dan berhenti bersikap apatis.
Jika kamu tidak bisa menghormati, berhenti untuk berkomentar. Karena sejatinya Sulli bukanlah bunuh diri tapi dibunuh oleh komentar jahat yang terus datang secara konsisten. Sulli sendiri aktif membawakan program variety show The Night of Hate Comments. Dulu saya merasa, Sulli seolah udah masa bodo dan nggak peduli dengan komentar jahat bahkan membacakan puisi tentang hate comments di acara itu. Tapi perasaan dan pertahanan kuat dari depresi yang dia sembunyikan nggak ada orang yang tahu.
Dalam siarang langsung instagramnya Sulli mengatakan “Jangan salah paham. Aku bukan orang jahat, mengapa kau berbicara buruk tentangku? Katakan padaku satu hal yang aku lakukan sehingga mendapat perlakuan seperti ini?”. Padahal Sulli hanyalah seseorang yang terbuka dengan opini dan perspektif yang berbeda dengan norma dasar.
Mayarakat harus berhenti menolak kebenaran sejati demi kebenaran relatif. Berhenti berpandangan negatif dan terus melabeli status buruk pada orang lain. Berhenti menjadikan seseorang yang depresi sebagai sesuatu yang aneh,tabu, tidak sesuai norma, dan konservatif dengan isu depresi. Jadikan depresi sebagai isu yang wajib diawasi. Agar tidak ada Sulli lainnya yang mengakhiri hidup karena kehilangan identitas.
*Penulis merupakan Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam semester 5 dan anggota LPM Suaka 2019