Fanboy K-Pop : Melawan Stigma dan Stereotip Gender
*Oleh Raisa Shahifallah
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Hallyu wave atau demam Korea Selatan memang semakin terasa. Tak hanya makanan korea yang semakin mudah kita temui, drama dan musiknya pun makin banyak yang menggemari. Dengan musik yang modern, tarian yang energik, dan penampilan pertunjukan panggung yang menarik Korean Pop (K-Pop) berhasil mencuri perhatian banyak orang di dunia.
Berbicara soal K-Pop terutama idol-idolnya, hal pertama yang terlintas di kepala pastilah kecantikan, ketampanan, badan proposional, mahir bernyanyi dan tentu saja menari. melihat sebuah ‘kesempurnaan’ tentu sangat wajar jika semua menggemari K-Pop.
Sayangnya, stigma awam yang berkembang di masyarakat selalu mengaitkan antara selera musik dengan steorotip gender. Seringkali laki-laki yang menyukai atau menjadi penggemar boy band Korea atau biasa disebut fanboy ini dianggap tidak normal, kemayu, bahkan tak jarang dianggap banci. So rude ya.
Tapi jika dilihat dari asal katanya, memangnya fanboy ini apa sih? Mboh ya sampai dicap seperti itu? Saat ini masyarakat biasanya memaknai kata fanboy sendiri sebagai seorang laki-laki yang menjadi penggemar boy band Korea. Padahal sebenarnya kata fanboy tak hanya digunakan untuk mendefinisikan penggemar boy band Korea saja, melainkan dapat juga digunakan bagi laki-laki yang mengidolakan suatu tokoh tertentu, semisal tokoh musisi, agama, bahkan atlet.
Menurut dosen Sosiologi UIN Bandung, Asep Muhammad menjelaskan makna fanboy sendiri berasal dari dua kata yang dipadukan menjadi satu kata yaitu kata fan yang berarti fanatik, dan boy yakni laki-laki.
“Sebenarnya, kata fanboy ini tidak khusus digunakan untuk menjelaskan seorang laki-laki yang menjadi fans boy group Korea, tetapi dapat dikatakan bahwa fanboy itu dapat secara umum digunakan bagi seorang laki-laki yang mengidolakan sesuatu baik itu tokoh agama, tokoh musik, olahraga dan lain sebagainya dengan fanatik. Namun, di masyarakat terjadi penyempitan makna yang difahami bahwasanya fanboy itu adalah ucapan atau panggilan untu seorang laki laki yang menjadi fans boy group Korea,” jelasnya, saat diwawancarai via Zoom, (25/11/2020).
Kebanyakan penggemar K-Pop memang didominasi oleh kaum hawa. Banyak sekali boy band yang tampil dengan penampilan yang ciamik ditambah dengan wajah yang rupawan juga segudang talenta tentu membuat kaum hawa dimabuk cinta.
Ini akan berbeda jika penggemar boy band itu adalah laki-laki. Padahal saat ini bisa dibilang K-Pop sendiri sudah menjadi fenomena global. K-Pop sudah menjadi gebrakan yang luar biasa di balantika musik dunia. Tentunya karena eksistensi yang gak ada matinya dan juga capain-capaian luar biasa dari bintang-bintang K-Pop.
Artinya akan sangat wajar bila kaum adam pun menyukai genre musik ini. Walaupun dari dulu sampai sekarang tetap terus dibuntuti oleh stigma yang kadang bikit hati cekat-cekit. Jika dilihat dari sisi psikologi, dilansir dari Kumparan.com, seorang psikolog anak dan remaja, Alzena Masykouri mengatakan apapun seninya individu bebas memilih tanpa ada batasan gender. Kalaupun memang ada, itu hanyalah batasan dari budaya yang sifatnya normatif.
Maksudnya batasan ini tidak menjadi batasan baku yang memang menjadi standar, di berbagai daerah tentu berbeda-beda. Jika melihat di mana genre musik ini berasal, di Korea sana tentu hal yang wajar jika laki-laki menari atau bahkan memakai baju yang nyentrik juga beberapa aksesoris. Namun lain halnya dengan di Indonesia. Hal seperti itu dianggap aneh bahkan tak pantas jika diikuti oleh laki-laki.
Lebih lanjut Alzena mengatakan bahwa genre musik ini tak ada bedanya dengan genre musik lain, hanya saja yang sering menjadi sorotan karena kefanatikan dan ekspresifnya para penggemar yang menjadi pembedanya. Selain itu kesan K-Pop yang girly menghadirkan anggapan kalau kaum hawa saja yang boleh menyukai.
Stigma yang Berkembang di Masyarakat
Walaupun pada dasarnya fanboy merupakan laki-laki yang fanatik akan sesuatu, namun laki-laki yang suka pada boy band Korea cenderung mendapatkan stigma negatif dan itu tidak terjadi pada fanboy yang bukan fanboy boy band Korea. Seperti laki-laki yang menyukai band Slank akan menghadirkan kesan manly padahal objek idolanya sama-sama laki-laki.
“Stigma negatif ini tidak disematkan kepada fanboy yang menjadi fans laki-laki yang maskulin, pemain bola contohnya. Boygroup korea dengan tradisi ber-make up, dance kemayu dan energiknya, serta parasnya yang seringkali cenderung cantik dianggap tidak sesuai untuk disukai oleh laki laki,” tutur Dosen Sosiologi UIN Bandung Asep Muhammad.
Stigma negatif seperti kemayu, ataupun banci yang berkembang di masyarakat saat ini seringkali disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya fanboy boy band Korea yang suka meniru tampilan style yang jauh berbeda dengan kebiasaan masyarakat, suka meniru dance idolnya yang kadang dianggap tidak sesuai dengan steorotip gender yang berlaku di masyarakat.
Menurut salah satu penggemar K-Pop, Budiman, ia mengaku heran dan bingung kenapa kenapa hanya fanboy K-Pop saja yang mendapatkan labeling seperti itu. Ia mengatakan tak seharusnya juga selera musik seseorang bisa menjadi cermin dari orientasi seksualnya.
“Aku bingung si, aneh kenapa kita ga boleh, kan pernah ada yang bilang kalau yang suka boygroup itu feminim, kemayu. Kalo aku mikirnya kenapa sih masalah selera musik kita dikaitkan dengan maskulinitas dan orientasi seksual, Kalau yg lain asa gak terlalu gitu. Bahkan menurut aku alasan kita gak usah ditanyain, dan kalau kita cowo suka boygroup emang kenapa? Kenapa kalo Ronaldo engga, kenapa cuma K-Pop aja yg diberikan stigma negative,” ungkap Budiman, Jumat (25/11/2020).
Budiman menambahkan alasan utama ia menjadi fanboy dan menyukai K-Pop pun bukan hanya karena ada si ganteng atau si cantik. tapi karena memang lagunya enak didengar dan ia pun suka menari.
Menurut pandangan seorang Antropolog, Beni Ahmad Saebani, sebagai bangsa dan negara Korea Selatan punya tradisinya sendiri begitu juga Jepang, dan termasuk Indonesia. Karena tiap negara punya tradisinya masing-masing di sinalah yang menjadi permasalahan karena di Indonesia sendiri termasuk negara yang kental akan norma dan budayanya.
Menurutnya kaum milenial khususnya laki-laki yang fanatik terhadap K-Pop jika masih dalam kontek seni sah-sah saja. Menjadi bahaya adalah ketika seni menjadi kepribadian dan merasuk jiwa.
“Dilihat dari kacamata antropolog, seni itu adalah sub culture sedangkan centre of culture itu pola berpikir dan nilai yg dianut. Ini yang perlu jadi pegangan. Kalau pola pikir dan nilai terjebak kepada sub culture maka perlu diluruskan,” jelasnya, Senin (23/11/2020).
Stigma Negatif terhadap Fanboy Dipengaruhi oleh Steorotip Gender
Banyak faktor yang membuat fanboy mendapatkan stigma dan cap negatif, yang paling mencolok karena adanya stereotip gender. Di KBBI sendiri, stereotip merupakan konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Dalam hal ini, bisa dicontohkan melalui jenis kelamin, yang disebut dengan stereotip gender.
Dosen Sosiolog UIN Bandung, Asep Muhammad mengungkapkan steorotip gender merupakan aturan yang dibentuk oleh manusia, bukan Tuhan. Tuhan memberikan takdir manusia berupa jenis kelamin dan manusialah yang membentuk serta merefleksikan steorotip gender ini. Misal anak laki-laki tidak boleh dandan, harus berprilaku maskulin dan gagah serta permainannya yang menantang seperti sepak bola.
Begitupun perempuan, harus berprilaku feminim, pintar dandan, harus gemar bermain boneka dan lain sebgainya. Nah, apabila prilaku anak perempuan atau anak laki-laki tersebut tidak sesuai dengan steorotip gender, maka akan dianggap menyimpang.
“Nah, begitupun stigma yang timbul atau diberikan terhadap fanboy ini, karena boygroup K-Pop itu kan cenderung kemayu, ber-make up, bahkan terbilang terkadang cantik, maka masyarakat menilai bahwa tindakan boygroup ini tidak sesuai dengan steorotip gender yang berlaku, dan terkadang fanboy ini meniru gaya berpakaian, gaya rambut yang mungkin bisa jadi tidak sesuai dengan kultur dimana fanboy tersebut,” tambahnya.
Lingkungan dan Pola Asuh Menjadi Faktor Utama Pembentuk Stigma
Pembentukan stigma pada dasarnya berawal dari lingkungan terdekat individu tersebut. salah satunya yaitu pola asuh. Tentu pola asuh yang paling utama yakni pola asuh orang tua yang menjadi pendidikan pertama yang diterima seorang anak atau individu.
Hal ini selaras dengan pendapat Asep Muhammad, bahwa Pembentukan stigma berawal dari hal terdekat setiap orang. Pertama, orang tua. Orang tua mempunyai peran penting dan besar dalam pembentukan stigma yang akan dipegang teguh oleh anaknya. Orang tua sebagai orang terdekat yang akan lebih banyak menularkan berbagai pikiran, persepsi, norma-norma yang akan dianut dan diaplikasikan dalam hidupnya.
Kedua, keluarga. Selain orang tua, keluarga memiliki peran besar dalam pembentukan stigma dalam diri seseorang, keluarga sebagai lingkungan terdekat, akan membentuknya dalam sebuah karakter tertentu yang memiliki stigma yang seringkali terbentuk oleh pola asuh keluarga, didikan sehari hari, dan penerapan pengambilan sikap dalam menghadapi suatu fenomena tertentu.
Ketiga, sekolah dan teman teman. Sekolah dan teman teman sangat mempengaruhi proses penganutan sebuah stigma baru yang secara umum dibentuk oleh masyarakat. Namun, melewati proses yang sangat panjang karena cakupannya sudah sosial skala besar. Dari berbagai latarbelakang yang berbeda individu akan berbaur dan saling bertukat pokiran. Itu mengapa pondasi awal yakni orang tua sangat penting.
Lebih lanjut Asep menambahkan mudahnya kita memberikan stigma kepada seseorang akan bisa berdampak pada terampasnya hak asasi dia sebagai manusia. “jika seorang fanboy boygroup K-Pop itu yang dianggap gemulai, bahkan gay mejadikannya tidak mendapatkan hak asasinya sebagai manusia, seperti tidak didengar pendapatnya, tidak diberikan hak berpolitik misalnya, maka itu merupakan sebuat tindakan diskriminasi. Kita sebagai sesama manusia seharusnya saling menghormati sebagai sesma manusia seharusnya”. Tutupnya. [Kru Liput: Aziz Said, Nurul Fajri]
Editor Fresh: Bestari Saniya