Menerka Stereotip ‘Galau’ Terhadap Penulis Puisi
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Yups, itu merupakan sepenggal dari bait puisi karya mendiang Sapardi Djoko Damono yang masih kerap berseliweran di media sosial. Terutama saat perayaan Hari Puisi Sedunia yang baru saja dirayakan 21 Maret kemarin, yang diperingati untuk mendukung keberagaman bahasa lewat ekspresi puitis.
Tak dapat dipungkiri seiring berkembangnya zaman berkembang pula kesusastraan di dunia, termasuk di Indonesia itu sendiri. Sastra modern seperti puisi, novel, cerpen maupun prosa menjadi deretan karya sastra yang lebih digandrungi kaula muda ketimbang jenis yang lainnya. Bukan hanya sebagai penikmat karya orang lain saja, tetapi sebagian dari mereka juga turut ambil bagian untuk menciptakan karya-karya terbaiknya.
Meskipun seperti itu tetap saja angka pembaca karya sastra di Indonesia masih terbilang cukup rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Melansir dari data Lingkaran Survey Indonesia (LSI) pada tahun 2017 yang dilakukan terhadap 1.200 responden di 34 wilayah dari Aceh hingga Papua, bahwa penduduk Indonesia yang membaca karya sastra hanya 6,2% saja. Dan dari yang membaca sastra itu hanya 46,8% yang mengingat judul buku yang dibaca.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Penyair sekaligus Dosen Sastra dan Bahasa Inggris UIN SGD Bandung, Bunyamin Fhasya. “Untuk di Indonesia sendiri saya tidak melihat bahwa sastra semakin digemari oleh kalangan milenial maupun masyarakat pada umumnya apalagi di tengah pandemi seperti ini. Dan di media sosial pun saya belum menemukan data bahwa masyarakat semakin menyukai puisi,” tuturnya saat diwawancarai via Whatsapp, Jumat (26/03/2021).
Selain minat karya sastra yang masih rendah, berbagai stigma masyarakat juga turut muncul terhadap orang-orang yang gemar menulis puisi. Salah satunya yaitu pandangan bahwa ketika seseorang menulis puisi itu adalah tindakan galau dan cengeng dari orang tersebut. Apa lagi ketika mengunggahnya ke media sosial, akan dianggap bahwa tulisan tersebut mencerminkan kegalauan.
Hal tersebut juga pernah dirasakan oleh penulis asal Medan, Ely Rizki. Ia mengaku bahwa saat menulis puisi dan mengunggahnya ke media sosial, ia sering mendapat anggapan galau dari teman-temannya saat masih berkuliah. “Bahkan saya disebut sebagai ratu galau karena terlalu sering menulis kalimat puitis,” ungkapnya saat diwawancarai, Rabu (24/03/2021).
Menanggapi orang-orang yang menganggap tulisannya merupakan bentuk kegalauan, Ely mengaku cukup risih terhadap stereotip tersebut. “Sebenarnya saya cukup risih dengan stereotip ini. Tapi bagi saya selama tidak mengubah apapun selagi orang-orang tidak mengubah hobi saya dengan pendapatnya, saya kira tidak masalah,”
“Menulis puisi itu seni kehidupan. Bagi saya, orang-orang yang mahir berpuisi adalah orang yang memahami seni dalam hidupnya. Dengan begitu, tidak benar berpuisi itu karena sedang galau, justru puisi merupakan bentuk memahami pahit maupun manis kehidupan,” paparnya.
Diakui oleh Dosen Sastra dan Bahasa Inggris UIN SGD Bandung, Bunyamin Fasya, bahwa memang puisi merupakan media untuk menyampaikan kegalauan terutama oleh kaum milenial. Namun pandangan terhadap stigma berpuisi merupakan bentuk kegalauan menurut beliau itu merupakan pemikiran yang salah. Sebab menurutnya berpuisi tidak harus ketika seseorang tengah merasakan kegalauan.
“Cuman memang enggak tau kenapa saya juga, ini fenomenanya kenapa menulis puisi ketika harus galau dan kenapa ketika galau menulis itu disebut puisi. Tapi itu mungkin fenomena milenial kali ini karena betul dari awal melihat dari bajunya saja yang mana ketika tulisan itu puitis disebut puisi. Jadi kalau ada pernyataan menulis puisi kegalauan itu adalah cengeng menurut saya engga begitu,” tuturnya.
Dosen sastra tersebut juga memaparkan bahwa maraknya puisi dan kutipan-kutipan puitis di Instagram maupun media sosial lainnya memungkinkan terjadinya penafsiran bebas terhadap arti puisi itu sendiri. Hingga terkadang beberapa estetika yang seharusnya ada dalam puisi justru hilang dengan sengaja atau bahkan tanpa disadari oleh si pembuat puisi itu sendiri.
Beliau juga memberikan beberapa tips dan saran menulis bagi penulis pemula untuk tetap bisa konsisten dalam menulis. Pertama, apa yang ingin disampaikan dari tulisan tersebut harus jelas membicarakan perihal apa. Dan yang kedua menulis puisi tidak mesti saat galau, karena nanti akan repot ketika tidak galau justru tidak akan bisa menulis.
Selain itu stigma mengenai menulis puisi adalah galau juga harus dihilangkan karena dengan tidak galau pun kita sebenarnya tetap bisa menulis. Lalu yang selanjutnya persoalan bahasa maupun persoalan estetika, karena puisi merupakan bagian dari seni menulis maka persoalan bahasa dan estetika ini jangan dihilangankan. Tetap harus dipelajari oleh para penulis pemula sehingga nanti bisa memunculkan puisi-puisi yang lebih baik.
Semoga tips dan saran tersebut dapat diterapkan oleh fresh reader semua yang tertarik terhadap puisi.Jangan lupa untuk tetap peka untuk diri sendiri maupun lingkungan sekitar merupakan salah satu cara untuk bisa mengemukakan isi kepala menjadi sebuah tulisan yang dapat dinikmati oleh orang lain. Karena raga bisa saja mati namun kata-kata akan tetap tinggal dan abadi.
Fresh crew : Fitri Nur Hidayah/Magang
Redaktur : Adinda Nuurlatifah/Suaka