Antara Buaya Darat dan Roti Buaya

FRESH.SUAKAONLINE.COM – Budaya Indonesia seringkali menjadikan buaya sebagai simbol dalam hubungan percintaan. Salah satunya pada kultur popular, buaya sering dikonotasikan sebagai seseorang yang suka berganti-ganti pasangan. Namun sebaliknya, dalam kebudayaan Betawi buaya menjadi simbol kesetiaan terhadap pasangan. Hal itu menjadikan buaya sebagai simbol dalam percintaan memiliki makna ganda.
Kata “buaya” yang dimaknai ketidaksetiaan terhadap pasangan, seringkali disandingkan dengan kata “darat”. Jadi, buaya darat diartikan sebagai orang yang tidak pernah merasa cukup dengan satu pasangan. Hal ini dikaitkan dengan sifat buaya yang suka memangsa korban, sama seperti wanita atau pria hidung belang yang suka memangsa korban.
Adapun untuk asal usul istilah buaya darat ini memiliki banyak versi. Versi paling terkenal dituliskan oleh wartawan senior Samsudin Adlawi di majalah Tempo. Dia berpendapat istilah ini berasal dari cerita rakyat yang terjadi pada tahun 1971 di Soronganyit, Jember, Jawa Timur.
Diceritakan di Soronganyit terdapat tambak buaya. Buaya-buaya di sana memiliki waktunya sendiri kapan harus di air dan di darat. Pada suatu ketika salah satu buaya jantan hilang dari tambak. Setelah dicari cari selama tiga bulan buaya tersebut ditemukan di darat sedang bersama buaya betina yang bukan pasanganya. Warga yang menemukan serempak mengumpat “Dasar buaya!”. Semenjak saat itu istilah “buaya darat” menjadi istilah untuk laki laki yang memiliki hubungan gelap dengan wanita yang bukan pasangannya.
Di sisi lain, jauh sebelum penggunaan buaya sebagai simbol ketidaksetiaan, masyarakat Betawi lebih dulu menggunakan buaya sebagai simbol kesetiaan terhadap pasangan. Dilansir dari dinaskebudayaan.jakarta.go.id bagi masyarakat betawi buaya memiliki makna kesetiaan dan melindungi. Hal itu bersumber dari perilaku buaya yang hanya menikahi satu betina. Ketika betina itu bertelur buaya jantan akan sangat protektif dari ancaman predator lain.
Oleh karena itu dalam prosesi pernikahan adat Betawi terdapat seserahan roti buaya. Roti buaya diharapkan dapat mengingatkan para pengantin bahwa pernikahan itu sekali seumur hidup dan selama-lamanya, seperti yang dilakukan buaya. Namun pada tempo dulu, roti buaya tidak untuk dimakan, tapi untuk disimpan diatas lemari pakaian si pengantin. Roti dibiarkan begitu saja hingga dimakan hewan renik. Hal itu sebagai perlambangan semoga usia pernikahan awet sampai maut memisahkan.
Masyarakat Betawi memilih replikasi buaya dalam pernikahan adat mereka karena warga Betawi sering kali menemukan buaya. Hal itu disebabkan oleh kondisi geografis Jakarta. Jakarta memiliki 13 sungai dan juga banyak rawa yang merupakan habitat asli buaya. Selain itu oleh masyarakat Betawi, buaya dianggap sebagai penjaga sumber mata air.
Wah, ternyata terdapat perbedaan pendapat dari beberapa wilayah mengenai istilah buaya yang masih populer digunakan hingga saat ini. Sekarang jadi tau, ya, asal-usul dari istilah tersebut. Semoga menambah wawasan untuk Fresh Reader, ya!
Fresh Crew : Faiz Al Haq/ Magang
Editor Fresh : Aurora Rafi N/Suaka