Menilik Disinhibition Effect dalam Bermedia Sosial
![](https://fresh.suakaonline.com/wp-content/uploads/2020/10/WhatsApp-Image-2020-10-03-at-12.06.18-AM.jpeg)
*Oleh Fauziah Kurniasari
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Tak dapat dipungkiri, pesatnya perkembangan teknologi dan internet telah membawa perubahan yang lama kelamaan menjadi kebutuhan tersendiri bagi kehidupan, terlebih di era 4.0 ini. Kehadiran smartphone dengan fitur yang menakjubkan telah memudahkan kita dalam segala aspek kehidupan.
Dilansir dari kumparan.com pengguna internet di Indonesia per-Januari 2020 sudah mencapai 175,4 juta orang. Artinya pengguna internet di Indonesia mengalami peningkatan sektar 25 juta pengguna dibandingkan dengan tahun lalu. Secara tidak langsung media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat tanpa kita sadari.
Walaupun hadirnya media sosial menimbulkan banyak dampak positif yang kerap kita lihat, ternyata di balik itu ada ancaman bagi kepribadian diri loh. Pernahkah Fresh Reader melihat seseorang yang memiliki ketimpangan sifat dan perilaku antara di dunia maya dan di kehidupan nyata? Sebagai contoh, ia yang terlihat ceria dan banyak teman di media sosial justru terlihat menyendiri di kehidupan nyata
Fenomena ini dikenal dengan sebutan disinhibition effect, yakni ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan perilaku, pikiran, dan perasaannya di dunia maya. Hal ini terjadi karena hilangnya kesadaran diri, kecemasan atas situasi sosial, kekhawatiran akan penilaian sosial dan hambatan lainnya.
Disinhibition effect pertama kali didefinisikan oleh Joison pada 1998 dengan istilah disinhibition. Disinhibition adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengendalikan perilaku impulsif, pikiran, atau perasaan yang dikomunikasikan di lingkungan online dimana perilaku tersebut tidak dilakukan di lingkungan nyata.
Dalam jurnal Cyber Psychology & Behaviour, dishibition effect terbagi menjadi dalam 2 tipe, yaitu begin dishibition yang bersifat positif seperti upaya untuk memahami dan membangun diri sendiri, memecahkan masalah, serta mengeksplorasi emosi dan toxic dishibition yang bersifat negatif seperti kebencian, dan ancaman. Toxic disinhibition dapat mempengaruhi seseorang untuk menghina atau mengejek orang lain di internet, karena kurangnya tanggapan atau anonimitas yang dirasakan.
Nah, Fresh Reader, berbeda dengan dunia nyata yang mempunyai aturan-aturan sosial dan batasan dalam berinteraksi, di dunia maya seseorang dapat dengan bebas menyembunyikan identitas dan berbuat semaunya. Maka tak heran dishibition effect bisa berdampak merugikan atau menyakiti orang lain jika individu tidak mampu mengendalikan kesadaran di dunia maya. Contoh akibat yang ditumbulkan adalah cyberbullying, penipuan, menyebarkan hoaks dan lain-lain.
Mengenali Gejala dan Pemicu Timbulnya Dishibition Effect
Ketika seseorang mengalami dishibition effect, seseorang cenderung tidak mampu mengendalikan intesitas waktu atau seberapa lama ia menggunakan internet sehingga timbul perasaan candu. Hal ini juga dapat terlihat dari bagaimana dia menggunakan media social, apa yang ia lakukan dan untuk apa. Mereka yang menggunakan media sosial untuk melakukan hal-hal yang bersifat negatif seperti memberikan komentar negatif, menyebarluaskan hal-hal buruk inilah yang berhubungan dengan gejala toxic dishibition effect.
Faktor penyebab dari timbulnya ketidakseimbangan perilaku antara media sosial dan dunia nyata ini cukup banyak. Dalam jurnal Cyber Psychology & Behaviour terdapat 4 faktor penyebab timbulnya disinhibition effect.
Pertama, anonimitas. Internet memberikan kesempatan untuk menjadi seseorang yang anonym alias tidak bernama. Artinya, pengguna bisa saja tidak menggunakan nama asli untuk akun media sosialnya. Kesempatan ini lah yang secara psikologis mendorong orang untuk menjadi orang lain.
Kedua, invisibility atau tidak terlihat. Tidak perlu khawatir tentang bagaimana diri kita mengobrol secara online dengan orang lain. Sebab, dunia maya memberi kesempatan kepada kita untuk ‘tidak terlihat’. Ini memberi celah lebih kepada seseorang untuk berperan menjadi orang lain dengan kepribadian yang berbeda.
Ketiga, Asinkronisasi. Artinya bahwa karena waktu dan tempat tidak selalu tersinkronisasi secara kontinyu sebagaimana di kehidupan nyata. kita bisa lari kapan saja, dan memutuskan waktu kapan saja. Sehingga efeknya adalah terjadi banyak emotional hit and run atau istilah sederhananya tabrak lari.
Jadi setelah seseorang melakukan sesuatu di dunia maya, ia bisa meninggalkannya begitu saja. Sebagai contoh seseorang dapat menghapus akunnya setelah melakukan kesalahan atau keluar dari Grup WhatsAap setelah menyebarkan berita hoaks.
Terakhir adalah otoritas. Dalam dunia maya semua pengguna terlihat sama artinya mereka sama-sama mempunyai hak untuk berbicara tanpa adanya status yang terikat, berbeda dengan dunia nyata status menjadi suatu hal yang penting saat kita mau berbicara dengan orang lain sebagai contoh jika kita berbicara dengan dosen maka kita harus memerhatikan tata krama berbeda dengan dunia maya siapun bisa berkomunikasi tanpa diperlihatkan tata krama secara fisik atau nyata. Hal ini membuat orang lebih berani berkomentar jahat di media sosial.
Menurut dosen Psikologi UIN SGD Bandung, Rika Rahmawati, faktor lain pemicu disinhibition effect ini adalah karena kelemahan seseorang untuk melakukan interaksi sosial, misalnya ketika bertemu dengan orang lain di dunia nyata, seseorang terlihat pendiam, banyak menyendiri, tidak terlalu banyak berbicara.
Namun ketika berinteraksi di sosial media, misal WhatsApp Group, dia lebih ekspresif, karena lebih paham bagaimana caranya mengkomunikasikan atau mengeskpresikan ide-ide yang sifatnya tulisan atau kata-kata, dia punya waktu tersendiri untuk merangkainya terlebih dahulu.
“Interaksi di dunia nyata cenderung dilakukan secara cepat dan tidak semua orang melakukan itu dengan baik. Nah itu yah, menurut saya disinhibition effect itu yang pertama kompetensi sosialnya mungkin bermasalah, yang kedua berkaitan dengan bagaimana cara dia problem solving, bagaimana dia memutuskan sesuatu itu,” jelasnya, Selasa, (7/7/2020).
Faktor lainnya juga berkaitan dengan kepercayaan diri yang dimiliki seseorang. Aspek ketidakpercayaan diri yang kurang atau bermasalah dalam mengerekspresikan perasaannya membuat seseorang cenderung akan lebih menutup diri pada dunia luar dan memilih titik ternyamannya dengan sering berkomunikasi melalui media sosial.
Selain faktor di atas, salah satu yang melatarbelakangi perbedaan sikap dalam penggunaan media sosial ini adalah persona. Rika menjelaskan, sebenarnya di dalam kepribadian kita ini ada yang namanya persona. Persona ini diibaratkan sebagai topeng sehingga menjadi sesuatu yang wajar ketika kita bertopeng untuk mememenuhi tuntutan lingkungan. Tetapi, kewajaran penggunaan topeng itu jangan sampai menimbulkan ketimpangan kepribadian.
“Boleh-boleh saja asal topeng itu tidak terlalu tebal, kita bisa menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan, dan mungkin topeng itu berbeda-beda dengan lingkungan kita berada. Akan menjadi masalah ketika topeng yang kita gunakan berlebihan, terlalu tebal jauh antara kepribadian yang sesungguhnya dengan kepribadian yang ingin kita tunjukan pada masyarakat. Kepribadian yang sehat adalah persona kita yang secukupnya dan tidak terlalu jauh dengan kepribadian kita,” ujarnya, saat diwawancarai via WhatsApp, Selasa (7/7/2020).
Hal ini pun diakui oleh salah satu selebgram, Rieke Meilani Sugianto. Selebgram asal Karawang itu mengaku bahwa sebagaimana definisi influencer ialah meng-influence masyarakat, apa yang kita lakukan harus bisa dipertanggung jawabkan dan seburuk-buruknya di dunia nyata, ketika dibawa ke dunia maya dan orang lain mengikuti itu, tentu akan berbahaya. Rieke memang sering memikirkan ulang apa yang ingin dipublikasikan.
“Jadi di dunia nyata aku misal ada a,b,c,d,e,f,g. Nah di dunia maya, yang aku tunjukin cuma a,b,dan c. Sisanya ga aku tunjukin, tapi sebenernya aku pengen tunjukin gitu. Cuma karena aku ngerasa ini bukan konsumsi publik, ditambah keadaan aku di Instagram yang udah kaya gini gitu ya, jadi aku lebih mem-filter mana yang layak untuk dipublikasikan,” tuturnya saat diwawancarai via WhatsApp, Sabtu, (4/7/2020).
Terlepas dari itu, mempunyai kepribadian yang berbeda antara dunia maya dengan dunia nyata memang boleh boleh saja karena dishibition effect ini bukan hanya yang bersifat negatif saja melainkan bisa bersifat positif seperti begin dishibition.
Hal yang perlu ditekankan adalah kita harus mewaspadai apakah perbedaan kepribadian ini membawa ke dampak positif atau malah sebaliknya. Jika ditemukan gejala-gejala yang tidak wajar maka kita perlu membatasi penggunaan media sosial tersebut. Semoga kita tergolong orang-orang yang bijak dalam menggunakan media sosial ya, Fresh Reader.