Musik Sebagai Media Kontrol Sosial
Oleh Gemilang Yusrima Renic/magang *
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Akhir-akhir ini cukup banyak rekan-rekan pekerja seni yang membuat video kolaborasi bernyayi dengan lagu penyemangat di masa pandemi ini. Tak jarang kita temui video ini di berbagai media sosial.
Salah satu musisi yang akun instagramnya saya ikuti yaitu Eka Gustiwana. Dia dan istrinya menciptakan sebuah lagu dengan judul “Untuk Raga yang Lain”. Lirik dalam lagunya cukup menyentuh saya, terutama ketika mengingat jasa para tenaga medis yang rela tidak pulang ke rumah untuk tetap berdiri di garda terdepan melawan pandemi ini.
Tak hanya lagu itu, lagu dengan judul “Semua kan Berlalu” juga tak kalah menyentuh. Ada satu lirik yang paling ngena di hati saya, kurang lebih liriknya seperti ini ‘ku bangga dengan kamu yang dirumah saja’.
dari secuil lirik itu saya langsung merasa kalau lagu ini juga ditujukan untuk saya. Maklum saya hanya keluar rumah untuk membeli mie instan karena bosan makan telur dadar. Sebelum pandemi, saya sebenarnya memang orang yang jarang keluar rumah. Tapi, setelah mendengar lagu ini saya sadar ternyata apa yang saya lakukan ini bermanfaat juga dan semakin bisa untuk menahan diri agar tidak keluar rumah.
Fresh Reader penarasan gak sih kenapa tingkah laku kita terkadang dipengaruhi oleh lagu atau musik? Kenapa saya semakin bisa menahan diri dan tetap berada dirumah setelah saya mendengar lagu “Semua kan Berlalu”? Patricia F.Ransom dalam studinya yang diposting oleh University of Pennsylvania pada tahun 2015, mengungkapkan beberapa fakta mengapa manusia terpengaruh oleh musik.
Dia menghubungkan antara lirik dalam sebuah lagu dengan psikologi positif. Psikologi positif jika mengacu pada tokoh pelopornya yaitu Martin Seligman, merupakan perspektif ilmiah yang yang mempelajari sisi emosi positif manusia.
Dalam studinya ini, Ransom menyebutkan bahwa lirik berperan besar dalam mempengaruhi emosi manusia. Menurutnya, musik juga dapat digunakan untuk memanipulasi suasana hati tanpa persetujuan pendengar.
Saya merasa bahwa lirik yang menginspirasi dan memiliki kedekatan dengan pendengar akan mudah untuk mempengaruhi perilaku pendengarnya. Lirik-lirik yang disimpan dalam sebuah melodi ini bisa kita manfaatkan untuk kepentingan keteraturan sosial. Dengan lirik yang mengandung pesan dan makna-makna yang positif, pendengarnya akan secara tidak sadar terpengaruh seperti yang terjadi pada saat mendengar lagu “Semua Kan Berlalu”.
Sebenarnya jika kita melihat lebih jauh, kontrol sosial yang dilakukan oleh musik sudah ada sejak lama, terutama dari lagu-lagu perlawanan dalam konteks per-politikan. Contohnya jika di Indonesia ada lagu-lagu Iwan Fals, seperti Manusia Setengah Dewa, Galang Rambu Anarki, Ujung aspal Pondok Gede, dan Suara Buat Wakil Rakyat.
Lagu-lagu tersebut sebenarnya merupakan lagu kritik sosial kepada pemerintah, akan tetapi bagi para pendengarnya lagu ini mungkin merupakan sebuah anthem penyemangat untuk tetap waspada dan tetap melakukan pengontrolan secara masif pada pemerintah agar tidak melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat.
Meskipun lagu-lagu ini tidak menginspirasi pemerintah secara langsung, setidaknya menginspirasi rakyat untuk melakukan kontrol sosial. Dengan begitu masyarakat tidak terlalu apatis, dan mereka yang berada di kursi kekuasaan tidak terus menerus menggunakan alasan khilaf.
Hingga saat ini belum ada penelitian yang menyatakan apakah benar sebuah lagu bisa menciptakan keteraturan sosial atau tidak. Maka harapannya akan ada kolaborasi penelitian antara psikolog dan sosiolog tentang musik sebagai media kontrol sosial. Karena itu dapat memanfaatkan media musik untuk melakukan kontrol preventif dengan lirik yang menginspirasi bagi mereka-mereka yang tidak bisa dikontrol oleh aturan-aturan resmi seperti perundang-undangan.
*penulis merupakan mahasiswa Sosiologi Semester 4 dan anggota magang LPM Suaka 2020