Praktik KKN Dibalik Angka dan Kata 86
Judul : 86
Penulis :Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Cetakan Kedua April 2014
Tebal Buku :256 hlm ; 20cm
ISBN :978-979-22-6769-3
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Adalah Arimbi pegawai rendahan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hidup di kontrakan yang kumuh berukuran 3 x 4 m dengan biaya sewa yang hanya Rp. 300,000. Di mana lagi ia bisa istirahat di tempat yang semurah itu di kota yang megah dengan gaya hidup yang selangit juga apa – apa mahal tidak seperti kota kelahirannya ,Ponorogo. Juru ketik yang lugu tapi menurut rekan – rekan kerjanya itu adalah kebodohan, karena semua orang yang berkarier di kantor pengadilan tidak bersih, semuanya beres pokoknya 86!
Kedatangan dua orang yang tiba-tiba mengetuk pintu membuatnya terkejut. Ditambah membawa AC, sontak Arimbi langsung menginterogasi ala hakim. Rupanya AC itu merupakan hadiah dari Bu Danti,atasan yang selama ini selalu baik padanya.
Tak terlalu lama ada pesan masuk dari Bu Danti,“Itu namanya rezeki Mbi. Selamat yo wis nduwe AC.” (hlm. 43).
Mulai dari situ pola pikir Arimbi berubah hidup dengan gaji pas – pasan menjadikannya tak selugu dulu. Apalagi, sahabatnya Anisa yang ternyata sudah sejak lama mempraktikan sistem tips pada klien atau atasannya. Hingga menyeretnya pada kasus yang tak pernah ia duga sebelumnya – dugaan korupsi. Arimbi ditangkap saat berkunjung ke rumah Bu Danti untuk menyerahkan koper berisi uang dari klien Bu Danti yang entah kapan akan sidang di pengadilan. Koper itu sebagai langkah awal untuk memenangkan kasus Rudi.
Hidup tak semulus jalan tol, ada saja lubang – lubang yang berkubang. Pun, Arimbi, dia masuk penjara, di Ponorogo Ibunya sakit ginjal yang mesti cuci darah satu Minggu sekali. Hidupnya yang ditimpa tangga berkali – kali membuat Arimbi dilema. Beruntung hadirnya Ananta sebagai sosok suami yang penuh kasih dan mengayomi menjadikan Arimbi tetap bertahan melawan ujian – ujian.
Jakarta menjadi setting tempat yang menjadi sorotan dalam novel ini. Jakarta yang kini menjadi metropolitan yang penuh perjuangan, yang kumuh, bukan yang glamour yang mewah. Mengungkap kehidupan seluk – beluk ibukota dengan apik tapi tetap penuh intrik. Pembaca seperti terseret ke dalam labirin panjang melihat potret Indonesia yang di mana korupsi, kolusi dan nepotisme sudah mendarah daging juga ketimpangan sosial yang masih sering berlalu – lalang dalam kehidupan bermasyarakat.
Novel yang ditulis oleh Okky ini berhasil mendeskripsikan secara jelas dan gamblang praktik–praktik korupsi di negeri ini, di hampir setiap pelayan publik ditambah pengalamannya sebagai seorang jurnalis hukum dan korupsi makin menjelaskan kasus – kasus yang nyata. 86 yang artinya dalam kepolisian adalah sudah beres dan sama – sama tahu menjadi berubah definisinya oleh orang – orang pelayan publik misalnya saja pengadilan, sebagai hal yang maklum atas permintaan ucapan terima kasih. Tidak ada tips tidak akan diketik begitu pikir Arimbi dan Anisa.
“Memang terima kasih seperti itu tidak apa – apa ya ?” tanya Arimbi pada teman dekatnya di kantor, Anisa.
“Yan tidak apa – apa wong bosnya juga terima. Wong bosnya juga terima”
“Kok aku empat tahun disini enggak pernah tahu yah?”
“Ya itu kamunya yang bego!”
“Lah kamu pikir aku punya mobil dari mana ? nggak mungkin kalau dari gaji! (hlm. 70)
“Orang kalau kamu tanya juga pasti terima semua orang di sini juga sama seperti itu. Jadi tahu sama tahu. Yang bego yang enggak pernah dapat. Sudah nggak dapat apa – apa semua orang mengira dia dapat.”
Kebiasaan menerima, meminta yang dilakukan oleh orang – orang pengadilan jelas hal yang tidak patut ditiru dan berbahaya. Kasus suap – menyuap lembaga peradilan agaknya sudah mengakar hingga sekarang. Rupanya masalah ini merambah ke sisi lain, penulis memperluas kompleksitas masalah dalam novel ini yaitu pengurusan sertifikat tanah atau rumah.
“Urus sertifikat itu susah. Kalau mau bikin ya harus kenal orang dalam, harus pakai duit. Nah Bapakku ini bawa orang – orang yang mau bikin sertifikat ke orang dalam. Bapakku dapat jatah juga dari orang yang dibawanya.” (hlm. 98)
Dari pemilihan setting tempat yang menjadi sorotan yaitu Pengadilan negeri Jakarta dan Rumah Tahanan Pondok Bambu khususnya untuk para wanita keduanya merupakan tempat untuk mengadili hukum dan untuk menghukum sama – sama berpegang pada hukum. Namun melalui alur yang tegas serta didukung karakter yang kuat melalui narasi dan beberapa dialognya mencerminkan kondisi masing–masing. Dari tempat juru ketik, ruang sidang, petak – petak penjara, ruang besuk semua itu punya jalur dan tujuan masing masing.
“Bu Danti disediakan ruangan untuk orang – orang yang punya duit. Uang selalu membuat nasibnya lebih baik di manapun ia berada, pikir Arimbi saat melihat atasannya itu pergi.” (Hlm. 173)
Kelas sosial dalam penjara juga rupanya berlaku. Polisi yang notabenenya tahu hukum dan menangkap koruptor, sudi menerima 5 juta per bulan untuk “kamar mewah”. Berlaku juga untuk pembesuk yang ingin menjenguk keluarga atau kerabatnya mereka harus membayar Rp.10.000 tiap pintu dan sialnya Arimbi ada di pintu ketiga.
Selain keberhasilan atas novel ini, ada beberapa pertanyaan yang masih mengganjal hanya sedikit penggambaran tentang polisi, andaikan saja Okky di sini bisa lebih detail seperti pada karakter yang telah dibuatnya meski polisi bukan main charachter yang nantinya bisa memperkuat cerita bila ada penggambaran yang lebih dari pihak polisi saat Arimbi di penjara. Kenapa polisi – polisi yang bejaga menerima suapan tidak diproses secara hukum seperti pegawai rendahan macam Arimbi ? juga praktik – praktik korupsi sekaligus nepotisme yang terjadi di desa – desa seperti dibiarkan saja dan dianggap sebagai kewajaran ?
Terlepas dari keganjilan yang dirasakan, dari novel ini pula kita belajar sekaligus merenung saat dihadapi pilihan seperti Arimbi akankah melepas keluguan demi materi dan lingkungan atau bertahan dengan idealisme yang sudah lama kita genggam ? pertanyaan ini jawab dalam hati masing–masing.
Fresh Crew : Anisa Dewi
Editor Fresh : Septian Setiawan