Resensi Buku: Potret Pers Orde Baru
Judul Buku : Pers Orde Baru “Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya“
Penulis : Rizal Mallarangeng
Pengantar : Ashadi Siregar
Penerbit : KPG (kepustakaan populer gramedia)
Cetakan : Pertama, September 2010
Jumlah halaman : xxvi + 155 halaman
Oleh: Mohammad Aziz Pratomo*
Apa yang dilakukan oleh pers dalam berhadapan atau berada di tengah-tengah terpaan “daya-daya tak berwajah” dalam masyarakat kontemporer. Pengertian “daya-daya tak berwajah” itu sendiri sesungguhnya masih dapat dikembangkan lebih luas. Namun studi ini secara khusus mengartikannya sebagai menguatnya kapitalisme industrial dan dominannya negara (birokrasi).
Pilihan pengertian tersebut membawa konsekuensi penting dalam memilah objek penelitiannya yaitu : Kompas dipilih sebagai representasi pers yang tumbuh dan dibesarkan oleh menguatnya kapitalisme, sementara Suara Karya adalah wakil pers yang lahir dan bertahan karena kepentingan – kepentingan negara (birokrasi) yang bersifat praktis.
Rizal mencoba menjelaskan dilema yang dihadapi oleh pers saat Orde Baru. Menjadi bagian rezim otoriter merupakan cara yang mudah menjerumuskan diri ke dalam jerat penguasa. Di sisi lain, pers yang melawan dan memberikan kritik terhadap rezim berarti menyerahkan dirinya untuk dibunuh.
Meminjam dua harian di era Orde Baru yang memiliki latar kepemilikan bertolak belakang, Rizal mengajak kita untuk memakai perspektif baru dalam memandang pers di Indonesia. Jika ancaman terhadap pers di era Orde Baru adalah kekuatan negara yang mendominasi, kini kondisi serupa terjadi meskipun era kebebasan pers sangat terbuka lebar. Kekuatan negara berkurang bahkan tak perlu dihawatirkan, namun konglomerasi media menjadi ancaman yang tak kalah serius.
Buku ini, diangkat dari skripsi dan pernah dipublikasikan sebagai monografi di Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM (1992), berusaha menggambarkan wajah pers di masa keemasan Orde Baru. Dengan mengkaji isi harian kompas dan Suara karya melalui metode analisis isi serta pendekatan ilmu sosial dan etika makro, Rizal Mallarangeng memperlihatkan cengkraman sistem politik yang dihadapi pers di masa Soeharto itu dan bagaimana mereka (pers) menyiasatinya.
Di tengah minimnya penerbitan tentang pers indonesia, buku ini dapat menjadi alternatif bacaan yang bermanfaat terutama bagi pembaca yang masih cukup muda dan tidak pernah “menikmati” membaca koran di era Orde Baru dan menjadikannya sebagai referensi yang bermanfaat. Kita harus memahami masa lalu agar tidak mengulang kesalahan yang sama di masa kini dan masa depan.
*Penulis adalah anggota magang LPM Suaka 2016