Silent Treatment, Sebuah Bentuk Kekerasan Emosional
Oleh Rani Khaerany Rizkiyah*

FRESH.SUAKAONLINE.COM—Dulu, saya sempat merasa worthless dan stres banget, ketika mendapat perlakuan “dikacangin”—bahkan kehadiran saya aja dianggap tidak ada— oleh sahabat saya sendiri. Setiap malam, saya terbiasa dengan pola tidur cepat, namun setelah mengalami perlakuan silent treatment, kebiasaan tidur cepat bergeser menjadi kebiasaan menghabiskan malam dengan sibuk overthinking perihal dikacangin.
Saya pun bingung, mulai dari Whatsapp sampai Instagram, semua akses komunikasi, ia block. Dari situ, saya semakin yakin bahwa saya sepertinya sudah melakukan kesalahan kepadanya. Karena beban pikiran tersebut, fokus ketika bekerja pun mulai terdistraksi, kepala saya hanya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan: “saya salah apa ya?” “saya sepertinya orang yang jahat, deh!” “saya memang pantas dibenci.”
Hari-hari semakin berat, mengingat tanda tanya di kepala semakin membesar. Dia yang biasanya bersikap ceria kepada saya, tiba-tiba dingin. Saya sapa pun responya sangat tidak mengenakan. Dari sini, saya mulai memberanikan diri untuk bertanya, it was a bitter pill to swallow.
Dari kasus yang saya paparkan, mungkin kamu juga pernah mengalaminya. Bagaimana rasanya? Ah mantap… Perasaan bersalah, bingung, dan bahkan kehilangan motivasi dalam melakukan aktivitas sehari-hari akan turut membersamai ketika kita menjadi korban silent treatment.
Setelah membaca kasus tersebut, “komunikasi adalah kunci” seharusnya menjadi jurus pamungkas dalam menghadapi situasi yang saya ceritakan di atas. Namun, dibanding menyelesaikan masalah dengan mengkomunikasikan solusi, beberapa orang memilih silent treatment sebagi jalan ninja untuk menghukum korban, agar rasa sakit yang diterima setimpal.
Dalam redaksi di atas, saya beberapa kali menyebutkan silent treatment, kira-kira apa sih silent treatment dalam perspektif psikologi? Dilansir dari Medical News Today, Silent treatment sendiri merupakan sebuah penolakan untuk berkomunikasi secara verbal dengan orang lain, bahkan bisa sampai menolak akan keberadaan orang lain.
“Selain itu, silent treatment sudah masuk ke ranah kekerasan emosional ketika orang tersebut berniat melukai orang lain dengan cara mendiamkannya, keheningan (berdiam diri) dalam jangka panjang. Mereka (pelaku silent treatment) bisa berbicara dengan orang lain, tetapi tidak berbicara dengan kita misalnya. Selain itu mereka (pelaku silent treatment) juga mencari dukungan atas apa yang diperbuatnya,” menurut Ibu Lida Imelda Cholidah, S. Sos, M.Si, dosen Psikologi Komunikasi yang saya wawancarai pada Kamis (7/4/21).
Kapankah silent treatment dikategorikan sebagai emotional abuse atau kekerasan emosional? Silent treatment dikategorikan sebagai kekerasan ketika hal itu digunakan untuk melukai perasaan, mengambil kendali emosi, dan bahkan memanipulasi korban.
Perilaku silent treatment juga didorog oleh beberapa aspek, diantaranya :
Pertama, Penghindaran. Hal ini dilakukan karena si pelaku tidak ingin terjerumus ke dalam konflik yang berkepanjangan, sehingga pelaku merasa dengan melakukan silent treatment, konflik dengan sendirinya akan reda.
Kedua, Komunikasi. hal ini dilakukan karena si pelaku tidak mampu mengekspresikan perasaan mereka, sehingga dengan melakukan silent treatment, korban akan memahami jika pelaku sedang marah.
Ketiga, Hukuman. seseorang yang menggunakan silent treatment sebagai hukuman, maka silent treatment bisa dikategorikan sebagai tindakan kekerasan emosional.
Mengutip dari Medical News Today, ketika seorang pasangan ingin membicarakan sebuah masalah namun salah satu pasangannya malah menarik diri, hal tersebut mampu memicu emosi negatif seperti kemarahan dan penderitaan. Menurut riset tahun 2012, orang yang merasa sering diabaikan dilaporkan memiliki tingkat harga diri, rasa kepemilikan, dan pemaknaan hidup yang lebih rendah.
Nyatanya, dalam realitas di sekitar saya, banyak orang yang mengalami atau bahkan melakukan silent treatment ini. Didorong atas dasar keingintahuan, saya melakukan riset dengan bertanya pengalaman silent treatment kepada pengikut saya via Instagram. Kita berinteraksi melalui fitur pengajuan pertanyaan. Berikut respon-respon mereka :
- Pernah jd korban xixixi dia yg nge-silent treatment, eh gue yg ribet nyamperin buat nanyain dia kenapa.
- Aku pelaku, karna typical yang gabisa marah2 gt jadi cukup diemin sampe bener2 tenang.
- Aku… pelakunya. Berharapnya si orangnya paham kalo dengandidiemin artinya “i don’t like u.”
- Pelaku, karena takut emosi ke mana-mana makanya diemin aja.
- Merasa berdosa dan bingung. Penyiksaan batin, apalagi untuk korban yang terikat perasaan.
- Pelaku, because aku tipikal org yg males ribut, jadi yauda mending cicing we lah.
- Apa itu?
- Tiidak mengerti.
Dari responden-responden di atas, dapat disimpulkan bahwa motif dalam melakukan silent treatment adalah untuk menghindari konflik. Lalu, korban yang terdampak silent treatment melaporkan bahwa dirinya merasa bingung terhadap perilaku orang yang melakukan silent treatment terhadap dirinya. Sisanya, beberapa responden belum memahami perilaku silent treatment.
Dampak dari silent treatment juga tidak bisa dianggap sepele, mengutip dari Tirto.id bahwa silent treatment juga akan memengaruhi lapisan otak, anterior cingulate, yang berfungsi untuk mendeteksi rasa sakit yang diterima dan menimbulkan rasa tidak nyaman seperti sakit kepala, insomnia, gangguan kecemasan, dan kelelahan.
Silent treatment juga turut memberikan rasa sakit secara psikis. Membayangkan apa yang telah dilakukan oleh pelaku, membuat korbannya merasa bersalah atas pengabaian tersebut. Tidak mengherankan mengapa silent treatment ini dikategorikan sebagai tindakan abusif seperti yang Ibu Lida sampaikan tadi, ya karena hal tersebut menyumbang rasa sakit, depresi, dan bahkan frustasi pada korbannya.
Hal ini didukung oleh data dari Paired Life menyebutkan bahwa, wanita yang dianiaya secara psikologis, cenderung menghadapi kesehatan mental yang buruk, dengan 70% mengalami gejala gangguan stres pasca-trauma dan depresi. Selain itu, para penderita kekerasan emosi memiliki kemungkinan besar akan terus terjebak dalam toxic relationship dengan orang lain. Mereka juga akan lebih sulit untuk mempercayai partner baru.
Lalu, bagaimana cara kita merespon orang yang melakukan silent treatment? hal ini penting sekali untuk diketahui, mengingat kasus silent treatment sangat lazim kita temukan di lingkungan terdekat dan bahkan di dalam relasi kita bersama pasangan.
Mengakui perasaan seseorang penting dilakukan dalam merespon tindakan silent treatment. Biarkan mereka mengetahui bahwa perasaan mereka valid, karena dengan sikap seperti itulah mereka mampu membuka jalan bagi keduanya untuk melakukan percakapan yang lebih terbuka mengenai perasaan masing-masing.
Tenang dan susun waktu untuk melerai masalah, kadang seseorang bisa saja melakukan keputusan yang buruk hanya karena terlalu marah, tersakiti, atau bahkan sudah tidak mampu berkata-kata. Penting skali bagi mereka yang sedang terlibat isu silent treatment untuk menenangkan diri mereka sebelum akhirnya berdiskusi kembali.
Saling memaafkan, terdengar sulit, namun inilah yang mampu menghentikan tindakan silent treatment. Karena bagaimana pun, mereka harus mampu memafkan, dalam tindakan silent treatment bisa saja saling menyakiti dan menganiaya emosi satu sama lain. Maka untuk membebaskan rasa sakit, kuncinya dengan memaafkan.
Silent treatment memang terdengar sepele dan eksistensinya sangat dinormalisasi sebagai bentuk pengajaran. Namun, secara psikologis silent treatment merupakan sebuah bentuk komunikasi yang tidak produktif dalam sebuah hubungan. Alih-alih menyudahi konflik, silent treatment malah membuat korbannya merasa dianiaya secara emosi.
Sebelum kita memutuskan tindakan silent treatment untuk menghukum, mengkomunikasikan perasaan, atau menghindari konflik, coba tanyakan pada diri kita terlebih dahulu, ”kepuasan apa sih yang akan saya dapat ketika melakukan tindakan silent treatment?” Jika hal itu hanya kesia-siaan dan menimbulkan perasaan saling menyakiti satu sama lain, yakin mau lakuin silent treatment?
*Penulis adalah mahasiswa KPI semester lima UIN Bandung dan merupakan anggota LPM Suaka