Dia Tetap Ada Bersama Kata
FRESH.SUAKAONLINE.COM – ‘Istirahatlah Kata-Kata’ merupakan film hasil garapan sutradara Yosep Anggi Noen. Terhitung sejak 19 januari 2017 film ini sudah menghiasi layar bioskop dan berhasil merenggut perhatian publik. ‘Istirahatlah kata-kata’ terpilih sebagai film terbaik versi Tempo dan bersaing dengan 120 film yang rilis pada tahun 2016. Bercerita mengenai seorang sastrawan yang sangat familiar ditahun 90-an yang kemudian hilang, yakni Wiji Thukul.
Dalam serangkaian operasi penculikan yang dilakukan oleh Tim Mawar Kopasus. Puluhan aktivis diculik, ditahan dan disiksa diberbagai penjara tersembunyi. Dalam operasi penghilangan tersebut, Wiji Thukul turut lenyap tak berbekas hingga sekarang Penasaran dengan isi film tersebut, yuk simak ulasan berikut ini!
Wiji Thukul, penyair kurus buruh plitar dengan mata kanan yang buta akibat dipopor senapan militer, membuktikan bahwa kata-kata dapat menjadi mimpi. Pria kelahiran Solo 26 Agustus 1966, tepatnya di kampung Sorogenen dengan mayoritas pendudukanya buruh dan tukang becak.
Puisi-puisinya tentang rakyat kecil berserakan diberbagai terbitan kampus, koran dan majalah seperti Progres dan Tanah Air. Puisi Wiji makin populer seiring dengan kebangkitan perlawan rakyat sejak 1980-an, seperti yang terekam dalam bait puisinya “Hanya ada satu kata: Lawan!”
Namun Wiji menyadari bahwa puisi saja tidak cukup untuk melawan tirani Orba. Bersama kawan-kawan lintas sektor dan kota Wiji lalu terlibat dalam berbagai aksi menuntut perubahan. Dengan berbagai seniman dia mendirikan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) pada tahun 1994.
Tidak cukup dengan perlawan seni, Wiji juga memprakarsai pembentukan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada tahun 1996. PRD berada di barisan depan menuntut demokrasi. Deklarasi PRD 22 Juli 1996 adalah penampilan terakhir Wiji di depan publik. Setelah meletus kerusuhan 27 Juli 1996 yang direkayasa militer, Wiji dan kawan-kawan menjadi buronan, hingga harus bersembunyi ke Pontianak, Kalimantan Barat.
Dalam film tersebut, tergambar jelas bagaimana kesunyian yang diderita Wiji. Kekuasaaan despotik menjadi tembok yang memisahkan cinta kasih seorang bapak pada Sipon sang istri dan kedua anak-anaknya Wani dan Fajar. Penggalan sajak tergambar betapa Wiji merasa, sepi dan sunyi. Ia bahkan tak berani menunjukkan identitas asli, tatkala intel masih berkeliaran, dan ia merasa semakin takut.
Kata-kata itu selalu menagih
Padaku ia selalu berkata
Kau masih hidup
Aku memang masih utuh
Dan kata-kata belum binasa
(Wiji Thukul 18 Juni 1997, “Aku Masih Utuh Dan Kata-Kata Belum Binasa”)
Di Solo Sipon (Marissa Anita) istri Wiji hanya hidup bersama kedua anaknya. Sipon ditekan, rumah selalu diawasi polisi, intel selalu mendatangi, buku milik Wiji disita beberapa kali lalu Sipon digelandang ke kantor polisi untuk diinterogasi. Sipon rindu, namun ia tak pernah menunjukkan kesedihannya, ia selalu menunggu sang suami mengabari dan kembali.
Saat bersembunyi di Pontianak, Wiji menceritakan keresahannya dalam coretan pena, Wiji mengutarakan bahwa kawan-kawannya yang bersembunyi baik di Lampung, Yogyakarta dan tempat lainnya berhasil ditemukan kemudian dibawa pergi dan tak kembali. Thomas yang membacanya memutuskan untuk membantunya. Wiji kemudian merubah penampilannya beserta identitasnya dibantu kedua kawannya di Pontianak, Martin dan Thomas.
“Jadi buronan lebih menakutkan dibandingkan menghadapi sekompi kacang hijau yang membubarkan demonstran,” kata Wiji
Tak lama, Wiji memutuskan kembali ke Solo, dan konflik pun kembali terjadi. Beberapa intel mengetahui keberadannya. Sipon yang dilema pun menangis, ia bahagia ketika sang suami lebih aman berada jauh darinya, ia juga jauh lebih bahagia ketika sang suami ada bersamanya. Sipon ingin sang suami terus berada didekatnya, meski akhirnya Wiji memilih pergi kembali bersembunyi pada Mei 1997. Pada tahun 1998 pemerintahan Soeharto guling, bahkan hingga kini keberadaan Wiji tak dapat diketahui.
Istirahatlah kata-kata
Jangan menyembur-nyembur
Orang-orang bisu
Kembalilah ke dalam rahim
Segala tangis dan kebusukan
Dalam sunyi yang mengiris
Tempat orang-orang mengingkari
Menahan ucapannya sendiri
(Penggalan Sajak “Istirahatlah Kata-kata, 12 Agustus 1998)
Fresh Crew : Awallina Ilmiakhanza
Editor Fresh : Yulita Bonita