Fokus 1 : Bahaya Gangguan Mental Narsistik
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Era modern saat ini kita sudah dimudahkan dengan segala kemajuan yang ada. Kemajuan teknologi dan internet yang makin ke sini makin tak terbatas adalah salah satunya. Adanya internet membuat kita bisa melihat apa yang terjadi di dunia saat ini dengan mudah. Tinggal klik ini, klik itu, apa yang kita ingin tahu sudah ada di depan mata.
Ini juga yang mengakibatkan istilah narsis menjadi populer. Swafoto atau selfie di depan kamera ponsel, kemudian diunggah di akun media sosialnya seolah menjadi kebiasaan yang terus berkelanjutan. Perilaku seperti itu yang sering diartkian sebagai narsis, padahal narsis tidak sampai di situ saja.
Narsis ini sangat erat kaitannya dengan kondisi gangguan mental atau disebut narsistik. Menurut Psikolog ternama asal London, Sigmund Freud, narsistik adalah cinta kepada diri sendiri sehingga cinta yang dibarengi kecenderungan narsisme menjadi mementingkan diri sendiri. Selain itu, Freud menjelaskan bahwa narsistik adalah kepribadian seseorang yang mengejar pengakuan dari orang lain terhadap kekaguman dan kesombongan egoistik akan ciri pribadinya.
Dilansir dari republika.co.id narsis berasal dari tokoh metodologi Yunani yakni Narcissus. Ia terlahir sebagai lelaki tampan dengan postur proposional. Tak sedikir gadis yang tergoda dan jatuh cinta padanya, namun tak ada satupun yang berhasil memikatnya.
Narcissus ini memiliki hobi berkaca. ia menggunakan air kolam ataupun air danau untuk menjadi medianya. Ia sangat mengagumi tubuh dan ketampanannya sampai-sampai ia jatuh cinta pada dirinya sendiri. Karena sering berkaca dan mengagumi dirinya sendiri, ia mati di kolamnya karena tercebur. Kisah inilah yang mendasari adanya istilah narsistik, yaitu gejala mencintai diri sendiri secara berlebih.
Ada beberapa ciri kepribadian yang bisa saja menjadi indikator seseorang mengidap narsistik. Menurut Dokter Spesialis Psikiater Rumah Sakit Onkologi Solo, Anastasia Venny Yustiana, seseorang yang mengidap narsistik akan merasa superior.
“Seseorang yang mengidap gangguan kepribadian narsistik akan mengharapkan keberadaannya diakui sebagai seseorang yang superior. Maksudnya ia merasa lebih unggul dari yang lainnya. Bahkan tanpa adanya prestasi yang menjamin,” paparnya, Rabu (21/8/2019).
Lebih lanjut, Anastasia mengatakan orang yang mengidap gangguan kepribadian narsistik ini akan melebih-lebihkan bakat dan prestasi. Ia disibukkan oleh fantasi mengenai kesuksesan, kekuatan, kecerdasan, kesempurnaan fisik, memercayai bahwa dirinya adalah pihak superior dan hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang berkedudukan sama tinggi atau sama spesialnya.
Mereka membutuhkan puja-puji yang konstan setiap saat. Merasa berhak terhadap segala sesuatu mengharapkan perlakuan khusus dari semua orang, dan memiliki ketidakmampuan atau ketidakinginan untuk mengakui kebutuhan serta perasaan orang lain. Selain itu, merasa cemburu dan iri terhadap orang Iain, sekaligus memercayai bahwa orang lain cemburu terhadap dirinya. Terakhir, ia akan berperilaku arogan dan sombong.
Pola Asuh dan Lingkungan Jadi faktor Utama
Banyak faktor yang membuat seseorang mengidap narsistik, salah satunya yaitu pola asuh orang tua. Orang tua jelas mengambil andil besar tentang pembentukan karakter anaknya. Karena didikan pertama yang anak terima pasti dari orang tua. Maka dari itu orang tua harus tau betul bagaimana untuk mendidik dan menerapkan pola asuh yang baik bagi anaknya. Jangan sampai di kemudian hari sang anak besar dengan gangguan kepribadian narsistik.
Menurut Psikolog dari Tiga Generasi, Alfath Hanifah Megawati, ada dua jenis pola asuh yang menyimpang yang biasa diterapkan oleh orang tua, yakni pola asuh ekstrim kiri dan pola asuh ekstrim kanan. Pola asuh ekstrim kiri identik dengan pengabaian emosional. Orang tua hanya akan fokus pada pencapaian anak yang diakui orang lain, di sisi lain sang anak merasa tidak dicintai.
“Sedangkan pola asuh ekstrim kanan identik dengan pujian yang berlebihan. Orang tua terlalu membanggakan anaknya, dan cenderung menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dilakukan oleh anaknya. Jadi anaknya dianggap sosok yang suci, tidak pernah salah. Mereka tidak diajarkan cara menghadapi kesalahan dirinya dan kurang diajarkan bagaimana berempati dengan kesulitan orang lain,” tuturnya saat diwawancarai via telepon, Sabtu (7/9/2019).
Sangat jelas bahwa pola asuh menjadi cetakan pertama seorang anak mau dibentuk seperti apa. Tetapi kita harus ingat faktor penunjang lain seperti lingkungan hidup. Bila seorang anak saat di lingkungan rumahnya sering dipuji, saat ia memasuki lingkungan baru yang tidak sesuai dengan kebiasaannya bisa saja anak tersebut menjadi berlebian dalam menunjukkan sesuatu yang memungkinkan menjadi gangguan narsistik.
Lain lagi jika seorang anak sering di-bully oleh teman-temannya. Ia bisa menunjukan diri dengan cara yang positif atau bahkan berontak tak terkontrol hingga menunjukan prilaku narsistik karena trauma psikis yang dialami.
Seperti halnya beauty vlogger, Fani Rahmawati. Ia menunjukan hal positif dalam dirinya setelah mengalami pem-bully-an oleh teman-temannya. Ia bercerita saat kecil sering diejek teman-temannya karena memiliki kulit hitam.
“Dikatain jelek karena punya kulit item. Sampe pernah berusaha untuk jadi putih, tapi tenyata cantik itu gak harus putih. Dari situ mulai berusaha nyaman dan nerima diri sendiri. Akhirnya ya sekarang udah gak peduli orang ngomong apa. Aku udah nyaman dan suka dengan kondisi aku yang sekarang,” katanya kepada Fresh Crew, Selasa (27/8/19).
Menggaet Pujian Lewat Media Sosial
Tak bisa dipungkiri saat ini media sosial menjadi sarana terbesar untuk ajang unjuk diri. Facebook, Twitter, Instagram dan yang lainnya menjadi lahan bagi pengidap narsistik unjuk diri dan memamerkan yang ia miliki. Media sosial seolah sudah menjadi kebutuhan primer baginya.
Namun, orang yang menunjukan diri di media sosial tidak selalu seorang narsistik. Karena sifat narsis atau merasa ingin dicintai pasti ada pada setiap orang. Ini berbeda dengan kepribadian narsistik yang memang berlebihan dan sudah menjadi sebuah gangguan kepribadian.
“Semua orang juga pastinya akan senang jika apa yang mereka upload dilihat oleh banyak orang, disukai dan dikomentari. Tapi kembali lagi kalau berlebihan seperti halnya dia merasa sedih, merasa stres, kecewa berlebihan jika like dan coment sedikit itu baru gangguan,” ujar mahasiswa jurusan Psikologi UIN SGD Bandung, Farida Hayu Pramesthi, Jumat (6/9/2019).
Terlepas dari itu, narsistik juga memberikan dampak bagi pengidap dan orang-orang yang berada di dekatnya. Farida menjelaskan, orang yang paling mendapatkan dampak negatif dari narsistik adalah yang mengidapnya. Karena orang yang mengidap narsisitik selalu berekspetasi tinggi. Ketika harapannya itu tidak terpenuhi, emosi dalam dirinya akan meledak.
Namun bagi orang-orang yang berada di lingkungan atau di dekat pengidap narsistik hanya akan merasakan risih. Namun kerisihan itu jangan sampai membuat si pengidap narsistik bertambah stres. Alangkah baiknya untuk tidak menggubris apa yang dilakukan orang yang mengidap narsistik.
Fresh Crew : Bestari Saniya
Editor Fresh : Rizky Syahaqy