Fokus 2 : Narsistik dan Upaya Penanganannya
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Pengusaha, produser sekaligus presenter perempuan sukses yaitu Oprah Winfrey, selalu beranggapan bahwa salah satu hal yang harus selalu dilakukan adalah memuji dan merayakan hidup kita sendiri. Itu artinya, mencintai diri sendiri merupakan suatu kewajiban dalam hidup.
Karena dengan mencintai diri sendiri maka akan tumbuh pribadi yang percaya diri. Tapi, Fresh Reader, jika perasaan mencintai diri sendiri terlalu berlebihan bahkan hingga menjadi sebuah gangguan kepribadian, tentunya kita harus berhati-hati. Karena segala sesuatu yang berlebihan, pada akhirnya tidak akan menjadi sesuatu yang baik.
Gangguan kepribadian yang disebabkan oleh kebanggaan pada diri yang berlebihan disebut dengan narsistik. Ada dua definisi dari narsistik yang berkembang saat ini. Dalam istilah medis yang berarti kebanggan berlebihan pada diri sendiri. Sedangkan dalam istilah masyarakat luas yang diartikan dengan pribadi berkeinginan kuat untuk dikagumi orang lain. Contohnya, dengan merasa bangga pada diri sendiri ketika banyak komentar memuji dalam unggahan di media sosial pribadi dan merasa murung apabila tidak mendapat pujian.
Peran Orang Tua dalam Membentuk Kepribadian
Namun, terlepas dari berkembangnya dua definisi narsistik saat ini, keduanya disebabkan oleh kesalahan pola asuh anak yang diterapkan oleh orang tua. Psikolog dari Tiga Generasi, Alfath Hanifah Megawati, mengatakan orang tua berperan aktif dalam pembentukan kepribadian anak menjadi pribadi yang narsis.
“Pribadi yang narsis tumbuh karena kesalahan pola asuh orang tua, ada dua poin yang perlu diterapkan dalam interaksi dengan anak. Pertama dengan memberikan cinta yang unconditional, dan yang kedua dengan berempati kepada orang lain,” kata wanita yang kerap dsapa Ega itu saat diwawancarai via WhatsApp, Sabtu (7/9/2019).
Memberikan cinta yang unconditional, dilakukan dengan cara tidak hanya mengatakan “mama/papa sayang kamu” saat anak berprestasi saja, tapi cintai anak bahkan setelah mereka melakukan kesalahan. Sampaikan dampak dari kesalahan itu dan upaya untuk memperbaikinya. Sehingga anak tidak haus akan cinta orang lain dan dapat menghadapi situasi ketika dirinya tidak dicintai.
Sedangkan berempati kepada orang lain, artinya dengan memberikan anak pemahaman bagaimana perilakunya dapat berdampak bagi orang lain. Ajak anak juga untuk memahami situasi orang lain. Misalnya, saat menghadapi konflik dalam relasi. Ajak anak untuk memahami situasi temannya yang berkonflik dengan dirinya. Empati juga dapat diasah dalam kegiatan sosial seperti “helping others” yaitu membiasakan anak untuk senang ketika harus membantu orang lain.
Mengacu pada definisi narsis di masyarakat luas maka cara mengedukasi anak agar tidak narsis di media sosial juga menjadi hal yang penting. “Mengedukasi anak tidak sesederhana menasehati anak. Anak belajar dari meniru orang terdekatnya, saat anak masih di bawah lima tahun, maka lingkungannya adalah orang tuanya. Jadi, formula mengedukasi anak itu adalah love+example+explanation,” sambung Ega.
Lanjut Ega, mengedukasi anak dengan cara memberi cinta yang unconditional dan memberi contoh (kita melakukan apa yang kita minta dari anak – Red) serta memberitahu batasan atau resiko dari perilakunya. Saat anak merasa dicintai dia akan cukup mudah menerima info dari kita. Berbeda dengan anak di usia remaja, seseorang mulai mengeksplorasi dunia sosialnya. Maka, mereka menempatkan lingkungan sosialnya yaitu sekolah, virtual dan komunitas di atas orang tua mereka.
Problematika Remaja Pemicu Narsistik
“Tanpa pengakuan dari dunia ini, maka mereka akan mengalami frustrasi. Jadi, sebelum mengedukasi anak, sebagai orang tua perlu mengecek lagi. Apakah anak sudah merasa cukup dicintai oleh kita? Apakah anak merasa diterima di keluarganya? Sehingga, perilakunya di media sosial bukan dampak dari rasa haus perhatian,” papapr Ega.
Ega kemudian menjelaskan cara berkomunikasi dengan anak remaja tidak sama dengan kepada anak-anak di bawah usia remaja. Remaja tidak suka dinasehati, mereka cenderung merasa dikekang jika dinasehati. Jadi, berbicaralah kepada remaja sebagai teman. Ajak mereka diskusi, tanya pada mereka termasuk alasan melakukan perilaku narsis di media sosial, kemudian beri pemahaman resiko dengan bahasa yang tidak judgemental.
Beberapa dari kita memandang bahwa menghindari dampak negatif media sosial dengan membatasi gadget. Membatasi gadget akan sangat sulit, terlebih di era revolusi industri 4.0 seperti sekarang ini. Lebih baik ajarkan remaja relational skills. Jadi, remaja tidak menjadikan relasinya di media sosial adalah segalanya, melebihi relasi di dunia nyatanya.
Caranya, dengan memberi contoh berelasi yang baik dalam hubungan antara ibu-ayah, ibu pada ayah-nenek, ibu pada ayah-tetangga, ibu pada ayah-teman. Kita juga harus berbagi pengalaman kita ketika menghadapi situasi sulit dalam berelasi, apa yang kita rasakan, dan bagaimana mengupayakan solusi.
Batasan Normal Percaya Diri
Menurut Dokter Spesialis Psikiater Rumah Sakit Onkologi Solo, Anastasia Venny Yustiana, dalam penuturannya mengungkapkan batas normal percaya diri sebenarnya tidak ada. Kepercayaan diri berlebih akan terlihat jelas jika menimbulkan gangguan. Karena yang ditekankan adalah gangguannya.
“Batasan normal percaya diri sebenarnya gak ada karena itu terlalu abstrak. Tapi ketika pujian menjadi suatu hal yang harus dipenuhi dan menjadi sebuah kebutuhan itu bisa menjadi tanda bahwa kita telah percaya diri yang berlebihan . Karena pujian hanyalah bonus bagi orang yang tidak memiliki kepribadian narsistik atas apa yang dilakukannya,” ujar Anastasia ketika diwawancarai via telepon, Rabu (21/8/2019.
Berdasarkan pengalamannya, Anatasya mengatakan para psikiater dalam menangani pasien narsistik lebih senang mengatakan “memperbaiki” gejala daripada “menyembuhkan”. Menurutnya, perilaku narsistik ini bisa dikontrol dengan pemberian obat.
“Jika sembuh berarti bisa lepas obat, misal sakit panas dikasih paracetamol panasnya hilang, itu sembuh. Kalau hanya terkontrol artinya dengan obat mungkin masih ada gejala, tapi lebih baik dan sudah tidak mengganggu kehidupan dirinya atau orang lain.” Ujar psikiater tersebut.
Pengaruh Kecanggihan Digital
Ketika berbicara tentang pengaruh kecanggihan digital terhadap perilaku narsistik tentunya berpengaruh. “Kecanggihan digital tentunya memberi pengaruh, tetapi kecanggihan digital atau smartphone hanya sarana untuk menunjukkan diri ke media sosial. Sedangkan gangguan dalam kecanggihan digital arahnya lebih ke adiksi internet,” lanjutnya.
Mahasiswa Psikologi UIN SGD Bandung, Farida Hayu Pramesthi, menjelaskan narsis di media sosial tidak selalu bisa disebut narsistik. Menurutnya berada di era digital saat ini orang-orang harus lebih bijak dalam menggunakan gadget.
“Jangan menggunakan media sosial terlalu banyak untuk stalking. Jangan bandingkan diri dengan orang lain, sehingga pada akhirnya kita akan berusaha untuk tampil melebihi orang lain. Pada akhirnya, rasa ingin dipuji dan dikagumi orang lain akan hadir dan gangguan narsistik akan timbul dalam diri.” Jelas Farida, Jumat (6/9/2019).
Jadi, Fresh Reader, kita harus lebih bijak lagi dalam menggunakan media sosial. Terapkan pola asuh yang terbaik untuk generasi masa depan. Cintailah diri kita, tapi tetap jangan terlalu berlebihan dalam mencintai segala sesuatu. Karena yang berlebihan akan menjadi bumerang, yang berbalik menyerang diri kita kembali.
Fresh Crew : Ai Siti Rahayu
Editor Fresh : Rizky Syahaqy