Fokus 3 : Narsisme Belum Tentu Gangguan Mental

Ilustrasi oleh Nurul Fajri / Suaka
FRESH.SUAKAONLINE.COM, Freshgrafis — Jaman terus berkembang pesat, bersamaan dengan itu pula tuntutan kehidupan dan ragam hal baru muncul mempengaruhi psikis manusia. Sudah tidak aneh lagi bukan, jika banyak penyakit-penyakit mental mulai bermunculan seiring berjalannya waktu.
Salah satu fenomena konkrit yang sering kita temukan adalah beragam postingan di media sosial yang menunjukkan gambar-gambar penggunanya. Ada yang memberikan jempol atau like, lalu tak sedikit dari mereka menimpali postingan tersebut dengan sebutan narsis, “Ih dasar kamu narsis”, atau “Kamu narsis banget, segala di-upload”, dan masih banyak lagi.
Fresh Reader tentu pernah mendengar legenda Narcissus bukan? Kisah itu ditulis dalam bentuk puisi oleh penyair Roma yang bernama Ovid sekitar dua ribu tahun silam. Narcissus adalah putra dewa sungai Cephissus dan peri Liriope. Ia dikenal luas di lingkungannya berkat wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang atletis.
Suatu waktu, seorang dukun buta yang bernama Tiresias meramalkan bahwa Narcissus dapat hidup panjang asalkan ia tak pernah memandang dirinya sendiri. Sialnya, penolakan Narcissus terhadap peri Echo (atau, menurut versi yang lebih lawas: pemuda bernama Ameinias) mengundang kemurkaan dewa-dewa.
Para tukang atur itu menggiring ia ke tepi kolam, dan di sana Narcissus jatuh cinta kepada pantulan dirinya sendiri. Putus asa terhadap cinta yang mustahil itu, membuat ia lantas memilih bunuh diri. Di kemudian hari, dalam psikiatri dan psikoanalisis, narsisme dikenal sebagai istilah yang merujuk kepada penghargaan dan pementingan diri yang berlebih-lebihan atau yang disebut dengan narsis.
By the way, tahukah kamu bahwa sebenarnya narsis itu memiliki dua definisi berbeda? Ada narsisme sebagai narsis yang normal terjadi, ada pula gangguan kepribadian naristik. Masyarakat sendiri umumnya hanya mengenal narsis sebagai sikap seseorang yang senang dipuji orang lain dan memuji dirinya sendiri.
Namun, narsistik rupanya dapat memiliki definisi tidak sesepele komentar netizen, lho, bahkan bahasan ini sudah termasuk ke salah satu gangguan mental. Maka, berhati-hatilah dalam men-judge orang lain narsis ya, Fresh Reader!
Pada Mei 2015 lalu, sejumlah peneliti dari Brunel University, London, menyelenggarakan studi tentang orang-orang yang gemar pamer bodi di media sosial. Menurut penelitian tersebut, mereka umumnya mengidap narsisme.
Menurut kandidat PhD dari University of Cambridge, Olivia Remes, tidak selamanya narsis itu suatu hal buruk. “Narsisme yang sehat adalah bagian dari fungsi manusia normal,” tuturnya. Namun narsisme bisa menjadi masalah serius bila seseorang menjadi terlampau khusyuk dengan diri sendiri, lantas menuntut kekaguman dan persetujuan yang berlebih dari orang lain.
Psikolog dari Tiga Generasi, Alfath Hanifah Megawati, menjelaskan narsis di dunia klinis dan di masyarakat berbeda. Di dunia klinis narsis termasuk salah satu gangguan kepribadian, yang dikenal dengan Narcissistic Personality Disoder. Ciri khas dari gangguan ini adalah kebanggaan pada diri yang berlebihan, kurangnya empati, bisa mengeksploitasi orang lain untuk kepentingan pribadi, dan sensitif sekali dengan kritik.
Dalam buku panduan gangguan Mental, atau dikenal dengan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM – 5), orang dengan gangguan narsistik ini biasanya memiliki rasa percaya diri yang berlebihan, mengharap diakui sebagai superior bahkan tanpa prestasi yang menjamin itu, melebih-lebihkan prestasi dan bakat, memiliki ketidakmampuan untuk mengenali kebutuhan dan perasaan orang lain, iri orang lain dan percaya bahwa orang lain iri padanya.
Selain itu, mereka juga percaya bahwa dirinya lebih unggul dan hanya dapat dipahami oleh atau asosiasi dengan orang-orang khusus, membutuhkan rasa kagum yang konstan, mengharapkan bantuan khusus, mengambil keuntungan dari orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Parahnya mereka juga kerap berperilaku arogan atau sombong.
Ketika suatu data di Amerika menyebutkan ada 300 juta orang yang mengunggah fotonya di Facebook setiap hari, bukan berarti semuanya terkena gangguan narsistik karena menurut American Psychiatric Association dari populasi umum dunia, hanya satu persen yang benar-benar terkena gangguan narsistik.
Tidak semua orang yang hobi swafoto lalu diunggah bisa disebut narsistik, sebab hingga saat ini belum ada penelitian dalam bidang psikologi maupun medis yang mengatakannya. Media sosial saat ini memang sarana yang diciptakan untuk menunjukan diri. Semua orang juga pastinya akan senang jika apa yang mereka upload dilihat, disukai serta dikomentari banyak orang.
Jadi, masih berani mengangap orang yang sering narsis di sosial media disebut gangguan narsistik? Ataukah, masih mau menyepelekan orang yang gangguan narsistik? Jadi, sebagai manusia yang diciptakan sebaik-baiknya mahkluk oleh Tuhan, kita harus lebih bijak lagi dalam melakukan segala hal, termasuk tidak mudah memberikan cap narsistik kepada orang lain
Sumber : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-5) dan Tirto.id
Fresh Crew : M Syifaurrahman
Editor Fresh : Rizky Syahaqy