Mahasiswa dan Idealismenya yang Entahlah

Ilustrasi oleh Nurul Fajri / Suaka
Oleh Anisa Dewi A*
Okay ini adalah tulisan ringan yang bisa dibaca sambil makan Cuankienya Master di koperasi SC, batagor kuah, pangyam ataupun roti kukus yang bisa dibeli di DPR (Di bawah Pohon Rindang) sebalah kampus yang katanya hijau, tapi kalau siang gersangnya naudzubillah.
Tentu ada banyak sekali jenis mahasiswa dengan karakter dan latar belakang yang berbeda. Tapi di sini tidak akan dituliskan varietas mahasiswa, yang akan lebih disoroti yakni mereka mahasiswa semester senja: mahasiswa dua digit yang hidupnya sudah tidak di kampus tapi masih terikat kuat secara administrasi dan jelas, jelas apa? Mata kuliah, bagi yang masih ngulang.
Mahasiswa dua digit bukanlah aib, tapi bukan berarti frasa itu dilegitimasi untuk membenarkan tindakanya. Memilih tidur ketimbang kuliah di jam pagi itu tidak patut ditiru, kenapa? kadang mereka menggunakan alasan itu untuk mengukuh idealisme, sebenernya lebih ke idealisme yang mana? Malasisme, kalau kita bedah menjadi malas-is-me. Fresh Reader idealisme itu hal termewah yang dimiliki pemuda, janganlah diciderai dengan hal-hal yang merusak idealism itu sendiri. Ujung-ujungnya menyesal karena banyak yang ngulang.
Ya memang, tiap orang punya prioritasnya masing-masing, tujuan dan prospek yang berbeda. Akan sangat disayangkan, isi kepala yang padat, informatif, progresif dan produktif itu hanya digunakan untuk hal-hal praktis tanpa nilai guna.
Kita apresiasi setinggi-tingginya mereka yang punya kesibukan lain, semisal bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, para humanis-humanis, aktivis yang turut berkontribusi demi perubahan sosial. Tapi gaes, yang harus digarisbawahi adalah mereka menjadikan ideologi malasisme sebagai alibi untuk mendukung tindakanya yang kalau aku sebut menyimpang, terkesan kasar dan merasa benar. Kan aku tidak ingin disebut golongan orang-orang yang merasa paling benar, macam Ormas sebelah. Surga ngga di tangan Ormas, atau di atas kasur sambil bermalas-malas.
Tidak bisa dipungkiri, orang tua manapun menginginkan anaknya lulus tepat waktu sekaligus cumlaude, itu adalah impian setiap orang tua. Tapi Pak, Bu, realita di kampus kadang menyedihkan. Ada hal-hal yang harus dibongkar dan diketahui publik selain teori-teori dari dosen yang diajarkan di kelas.
Penulis pernah mencoba melakukan riset kecil-kecilan soal beberapa mahasiswa yang memasuki usia semester senja, sebagian melegitimasi kemalasan dengan idealisme kalau dengar ceritanya bikin tarik nafas. Ada juga yang ini harus diacungi jempol mereka sibuk mengadvokasi masyarakat dan kuliah tetap lancar.
Keputusan lulus telat atau tepat semacam kesunyian yang hanya dimiliki oleh masing-masing, kita tidak perlu mengintervensi hak-hak orang lain, bagiku urusanku, bagimu urusanmu. Ya, ya berterimakasihlah kalau di antara kamu, lingkungan sekitar masih sering mengingatkan bahwa dirimu masih berstatus mahasiswa.
Kalau dikomparasikan dengan yang dapet beasiswa, lulus dalam kurun waktu 3,5 tahun dan cumlaude rasanya kontradiktif. Ngga apple to apple, because what? Tujuan mereka adalah akademik dan ada aturan tertentu dari lembaga beasiswa yang mengatur untuk ini dan itu. Rumit.
Kembali ke topik awal, Tri Dharma perguruan tinggi adalah konsep yang sangat mulia. Kampus adalah pusat intelektual dan kebudayaan. Tapi ngga cuma itu, seksis dan pelecehan seksual juga sering dijumpai, duh ngeri.
Clark pernah mendefiniskan soal perguruan tinggi. Baginya kampus sebagai raga organisasi, suatu pemahaman kolektif terhadap aktivitas-aktivitas yang unik, didasarkan atas sejarah, norma-norma, tradisi dan nilai-nilai yang berkembang di dalam dan di luar negeri. Kurang intelek apa lagi?
Tapi rasanya banyak sekali mahasiswa yang menggeser makna, sulit membedakan mana yang sering dijumpai sekerumunan mahasiswa yang tengah berdiskusi atau sekelompok mahasiswa yang asik nongki-nongki, haha-hihi. Mari sedikit bicara esensi Tri Dharma perguruan tinggi, ya aktivis tulen pasti sudah tahu, nggak apa-apa karena varietas mahasiswa alias tidak semua adalah aktivis, maka ulas saja.
Muncul pertanyaan apakah Tri Dharma perguruan tinggi masih memiliki gerbong-gerbong di kalangan mahasiswa sendiri? Tri Dharma perguruan tinggi memiliki tiga mata rantai. Perkins dalam bukunya menerangkan bahwa Tri Dharma perguruan tinggi mengacu pada tiga aspek pendidikan – yang cenderung memasuki wilayah pendidikan dan pengajaran. Tiga aspek tersebut adalah aquicition (penggalian), transmission (pemindahan), dan application (penerapan). Ketiganya akan memiliki ketergantungan dan keterkaitan yang melengkapi.
Nah, pendidikan tinggi yang digerakkan mahasiswa, menurut perspektif Gregory Jay dan Gerald Graft, dalam “A Critic of Critical Pedagogy” mendeklarasikan pendidikan tinggi mengusung harapan yang besar untuk menghasilkan manusia-manusia – maksudnya mahasiswa Indonesia yang dapat berdiri sendiri, yang tidak dapat dihanyutkan tanpa arah oleh arus globalisasi atau kepentingan-kepentingan korporasi internasional.
Lalu, masihkah Tri Dharma perguruan tinggi menjadi lokomotif di antara gerbong-gerbong yang sudah disediakan mahasiswa? Yang sesuai dengan rel-rel idealismenya?
*Penulis merupakan Kepala Litbang LPM Suaka periode 2018