Mengenal Toxic Femininity: Ketika Perempuan Terikat dalam Stigma
“Perempuan harus bisa memasak, harus bersikap lemah lembut, harus juga bergantung pada laki-laki!” Stigma yang entah sejak kapan bermunculan itu memang sudah biasa kita dengar di tengah masyarakat. Akibatnya, muncul pernyataan bahwa menjadi seorang perempuan sama dengan hidup di bawah banyak tekanan. Tuntunan, standarisasi, tekanan dari masyarakat kepada perempuan disebut juga dengan toxic femininity.
Berdasarkan studybreaks.com, toxic femininity ini diartikan sebagai standar yang dianggap normal oleh masyarakat sebagai sesuatu yang harus dilakukan dan dimiliki oleh perempuan. Berkembangnya stigma dan standarisasi dari masyarakat bahwa perempuan harus seperti ‘ini’ dan tidak boleh seperti ‘itu’ menciptakan stereotip yang berdampak pada sulitnya perempuan bertindak sesuai dengan apa yang memang ingin dilakukan dari hati.
Larangan dan tuntunan dari lingkungan nyatanya menciptakan perempuan yang tidak mampu menikmati kehidupan sesuai keinginan mereka. Stigma toxic femininity yang sangat sering berkembang dan lekat di masyarakat. Kalimat “Perempuan tidak harus sekolah tinggi kan nanti tetap kerjanya di dapur”,“Perempuan nggak boleh jadi pemimpin, itu jatahnya laki-laki” dan sebagainya masih sering diterima oleh perempuan saat ingin hidup dengan standar mereka sendiri.
Padahal karir, pendidikan, jalan hidup, cara berpakaian, perilaku dan sikap merupakan sesuatu yang bersifat independensi sehingga tidak harus ditentukan oleh siapapun. Namun, pada kenyataannya perempuan dituntut untuk dapat mengikuti hal yang dianggap wajar oleh masyarakat luas dan wajib dipatuhi oleh seorang perempuan dalam kehidupan bermasyarakat-nya.
Adanya toxic femininity ini berdampak pada tidak berdayanya seorang perempuan dalam menentukan hidupnya sendiri. Penghakiman akan datang dari lingkungan dan orang lain ketika mereka melakukan sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan standar yang berlaku. Fenomena ini juga pada akhirnya akan menciptakan perempuan yang hilang kepercayaan diri serta tidak mampu menerima keadaan dirinya sendiri.
Lalu, apa yang harus dilakukan perempuan saat berada dalam lingkaran toxic femininity?
Hal pertama yang bisa dilakukan saat menerima dan berada dalam toxic femininity adalah selalu menjadi diri sendiri. Dengan memutuskan untuk melakukan apapun yang diinginkan maka akan terhidar dari rasa tertekan akibat tuntutan dari orang lain. Selalu menjadi diri sendiri dan cinta pada apa yang ada pada diri akan membantu kita agar lebih percaya diri.
Selanjutnya yang bisa dilakukan untuk menyikapi toxic femininity adalah dengan tidak memperlakukan perempuan lain dengan standar yang kita punya. Jangan memandang orang lain dengan standar yang berlaku sehingga setiap perempuan mampu mengekspresikan diri dengan leluasa tanpa perasaan terbebani.
Standarisasi yang ada di tengah-tengah masyarakat mungkin tidak akan mampu kita hilangkan, namun sebagai perempuan yang bisa dilakukan adalah untuk selalu menerima diri sendiri. Jadilah perempuan yang menghargai perempuan lain, supaya stigma dan paradigma tentang perempuan di masyarakat tidak akan mampu mempengaruhi kita dalam beraktivitas dan menjalani hari sebagai seorang perempuan.
Sumber: kumparan.com, studybreaks.com, psychologytoday.com
Fresh Crew : Wulan Exrianissa/ Suaka
Editor Fresh : Aurora Rafi N/Suaka