Menjadi Jurnalis Beridealis Bersama Karni Ilyas
Judul : 40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas, Lahir untuk Berita
Penulis : Fenty Effendy
Penerbit : Buku Kompas (PT Kompas Nusantara)
Tahun : 2012
ISBN : 978-979-709-671-7
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Tidak banyak yang mengetahui perjalanan hidup Karni Ilyas yang sesungguhnya. Nah, Fresh Reader di buku berjudul 40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas Lahir untuk Berita ini menceritakan sepak terjang seorang pria bernama lengkap Sukarni Ilyas ini menjadi jurnalis. Di dalamnya juga menceritakan, keberhasilan seorang Karni Ilyas di dunia media yang didasarkan pada cita-cita dan motivasinya yaitu ingin terkenal. Motivasi inilah yang terus dipelihara sejak sering menulis puisi untuk media ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) hingga menjadi wartawan profesional sekarang ini.
“Menulis berita kala itu tidak mendapatkan imbalan. Karya sastra dan cerpen justru lebih dihargai.” –halaman 23
Desember 1971, setelah mengantungi ijazah SMEA di Padang, Karni berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Publisistik (STP) yang terletak di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Semasa kuliah, Karni menumpang hidup di rumah sepupunya bernama Amsir di Tanjung Priok, dan untuk membiaya kuliahnya, Karni bekerja menjadi wartawan di media Suara Karya. Namun, ketika duduk di tingkat dua, Karni memilih mengubah haluannya di STP, dan kemudian Karni mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) karena tertarik pada dunia hukum.
Setelah enam setengah tahun bekerja di Suara Karya, ia pindah ke Tempo dan Majalah Forum. Lalu Pria kelahiran Agam, Sumatera Barat ini pindah lagi ke dunia pertelevisian. Pertama masuk ke Surya Citra Televisi (SCTV ) lalu ANTV. Terakhir, perjalanan karir Karni sebagai pemburu berita berakhir di TV One, sebagai Pimpinan Redaksi.
Ketika pria yang akrab disapa Bang One ini bergabung pada tahun ketujuh terbitnya Tempo itu, redaksi Tempo saat itu sedang berbenah. Mulai ada rapat-rapat perencanaan isi majalah. Semula, termasuk pimpinan redaksi, tak ada yang tau Tempo minggu depan isinya apa
“Saya menderita banget awal-awal di Tempo. Sebagai reporter saya selalu dapat penugasan yang banyak. Bisa sampai sepuluh penugasan. Rubrik Pokok dan Tokoh minta, Hukum minta, Nasional juga minta. Karena waktu itu reporter memang tidak banyak, cuma ada tujuh kalau tak salah” –halaman 77
Meski begitu Tempo telah membentuknya, bagi alumnus Fakultas Hukum UI ini, 14 tahun menjadi wartawan di majalah Tempo adalah pengalaman yang tak terlupakan. Tempo mengajarkannya menulis dengan runtut, dan mengujinya dengan berbagai liputan yang membuatnya menemukan kualitas dirinya sebagai wartawan.
Setiap media yang dimasukinya selalu berkembang. Di Tempo dia menjadi Jabrik Hukum, dan setiap berita hukum yang dikeluarkan Tempo, melalui karya Bang One selalu menjadi sorotan. Di forum, Karni juga sukses mengembangkan forum sebagai pimpinan redaksi. Pindah ke SCTV sebagai pimpinan redaksi, Bang One juga sukses membawa acara Liputan 6 menjadi Program Berita Terfavorit tiga kali beruntun memperoleh penghargaan Panasonic Award.
Dengan loyalitas yang tinggi pada profesi, pemahaman yang baik tentang hukum dan kejujuran yang selalu dipegang teguh, pada 9 Agustus 2001, Megawati Soekarno Putri pernah menawarkan jabatan strategis dan prestisius padanya, yaitu Jaksa Agung dalam kabinet Gotong Royong. Namun Karni menolak karena tidak ada cita-citanya menjadi Jaksa Agung (hlm.327). Alasan yang sedikit konyol itu semakin menunjukkan konsistensi dan integritasnya pada dunia berita.
Buku ini secara keseluruhan menceritakan tentang seorang Karni Ilyas dan kasus-kasus hukum yang ia beritakan. Pembaca yang mengidolakan Karni Ilyas membeli buku ini, namun ia tidak melek penilaian siapa sebenarnya yang salah hukum akan kesulitan mencerna kasus-kasus hukum yang diceritakan. Pembaca juga tidak bisa memberi siapa yang benar. Apalagi, kasus-kasus hukum yang disajikan sudah terjadi sebelum abad 21.
Yang sangat disayangkan dari buku ini adalah ketika figur Karni Ilyas menguap seketika saat alur mulai berada pada cerita ia diberhentikan dari Forum Keadilan hingga di akhir buku. Padahal cerita saat beliau bekerja di Forum lebih greget. Ceritanya ketika di TV One juga disampaikan hanya sepintas, tidak mendetail, padahal dapat dikatakan Karni Ilyas bisa terkenal saat ini lewat acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One.
Tapi Over all, cerita Karni Ilyas ini mengambil sudut pandang penulis terhadap Karni yang dicitrakan sebagai wartawan berbakat dan pekerja keras. Tidak ada sudut pandang yang menceritakan Karni pernah bermasalah. Padahal, kenyataannya, Karni Ilyas pernah ditegur oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) saat membawakan acara ILC atau persoalan lainnya.
Terlepas dari kekurangannya, Buku berjudul 40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas Lahir untuk Berita patut dikonsumsi bukan saja bagi para jurnalis, tetapi juga bagi masyarakat umum. Buku yang ditulis Fenty Effendy ini menguak tentang keluh dan pilu Karni sebagai anak manusia dalam menggapai cita-cita. Di dalam buku 396 halaman Ini, digambarkan juga bagaimana sepenggal sejarah demokrasi pers dan beberapa scene perjuangan reformasi 1998.
Fenty Effendy telah berhasil meracik pengalaman Karni dengan kalimat yang sederhana namun tetap padat. Tak bisa disangkal lagi kepiawaian Fenty dalam menggambarkan perjalanan tokoh-tokoh populer dan menuangkannya sebagai buku biografi sangat mumpuni dan buku kari ini menjadi buktinya. Jadi gimana nih Fresh Reader, tertarik membaca buku ini untuk menemani waktu senggangnya sembari menyusuri asyiknya menjadi jurnalis.
Fresh Crew : Harisul Amal/Magang
Editor Fresh :Septian Setiawan