Standar Sosial, Nyaman atau Beban
Oleh: Mega Lestari*
FRESH.SUAKAONLINE.COM- Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup di lingkungan sekitarnya. Namun, dalam prakteknya ternyata tidak semudah dan seringan yang dibayangkan. Terdapat banyak sekali batasan penghalang untuk bisa bergabung ke suatu lingkungan, yaitu standar sosial. Hal ini sudah tertanam jauh di dalam masyarakat hingga terbentuk mindset sulit untuk menerima seseorang yang berada di bawah standar.
Melansir dari laman YouTube Satu Persen-Indonesian Life School, bahwa kalau kita mengikuti standar sosial, hidup akan lebih enak dibandingkan dengan yang tidak mengikuti standar sosial atau melawannya. Karena dengan mengikuti standar sosial, orang tersebut akan menjadi orang yang lebih percaya diri, merasa memiliki identitas sosial dan merasa lebih berarti bagi masyarakat. Dan akhirnya munculah yang namanya fenomena “fear of people’s opinion” yang berarti keadaan seseorang mudah terkespos oleh opini orang lain.
Apalagi dengan adanya sosial media, tentu semakin jelas terlihat bagaimana standar sosial itu dibentuk yang pada akhirnya menjadi alasan untuk banyak orang merasa overthinking dan insecure, karena enggak mengikuti standar sosial yang ada. Secara enggak sadar, sebenarnya society di zaman sekarang itu punya standar yang kalau misalnya kita enggak ikutin, bisa jadi kita akan dapat stigma dari masyarakat baik secara langsung maupun enggak langsung.
Fresh reader pernah ngerasain enggak? Rasanya akhir-akhir ini kayak mudah banget terjajah sama opini-opini yang dibentuk oleh orang lain. Bahkan, kadang kita sendiri setiap mau melakukan sesuatu itu harus melulu mempertimbangkan opini-opini dari luar dan mungkin opini tersebut sering kita jumpai di media sosial. Misalnya, “di umur 20an lo itu harus udah kerja, nikah dan sebagainya” “di umur 30an lo harus udah punya perusahaan sendiri, bisa pergi keliling dunia dan sebagainya”.
Tidak selalu memenuhi standar sosial itu wajar
Sebenarnya, wajar enggak sih kalo kita sedikit berbeda dengan orang lain? Jawabannya, wajar. Berbeda dalam artian, kita punya jalan masing-masing, punya garis start yang beda bahkan finish-nya pun bisa berbeda. Enggak melulu harus memenuhi kepuasan orang lain, karena yang seharusnya dipuaskan itu hanya diri kita sendiri. Di saat kita terjebak dalam situasi yang mendapat komentar dari orang lain, semua keputusan itu sesungguhnya ada pada tangan Fresh reader.
Ketika mendapat opini dari orang lain yang dirasa relevan dan bermanfat buat hidup kita sendiri, hal itu bisa dijadikan pertimbangan. Kalau kebalikannya, sudah saatnya Fresh Reader untuk bersikap bodo amat. Seperti yang dikatakan oleh Mark Manson dalam bukunya yang berjudul “Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat” yang mana dia menjelaskan bahwa masa bodo itu bukan berarti kita acuh tak acuh, melainkan kita merasa nyaman saat menjadi berbeda. Karena ketika kita ingin mendapatkan hasil yang berbeda dari orang lain, tentunya jalan yang kita tempuh juga harus bisa beda dari orang itu. Seperti contohnya, ketika orang lain mendapat nilai 70 dengan sistem kebut semalam, berarti kita harus belajar jauh-jauh hari untuk mendapatkan nilai 80.
Beberapa insight dari Mark Manson yang bisa Fresh Crew bagikan dari bukunya, yaitu ubah pola pikir dengan merasa bahwa menjadi berbeda itu wajar selagi enggak merugikan orang lain. Anggap aja semuanya angin lalu dengan memilah mana perkataan dari orang lain yang mau didengar dengan yang enggak. Fokus kenali diri lebih dalam lagi, karena ketika kita belum fokus dengan yang dipunya, malah bikin kita terus merasa kekurangan. Coba untuk nggak terpaku sama ekspektasi dan standar orang lain, mulai terapin pelan-pelan ya, Fresh Reader.
Fokus kenali diri sendiri
Kadang, standar sosial itu memang perlu ada, karena engga semua orang bisa menjalani hari-hari tanpa berpikiran dia enggak diterima di lingkungannya, atau juga enggak semua orang bisa bersikap bodo amat. Tetapi yang harus selalu diingat, ngikutin standar sosialnya jangan berlebihan apalagi sampai melewati kapabilitas diri sendiri yang nantinya bikin kita nggak tenang dan nyaman. Akhirnya, malah jadi boomerang buat diri sendiri.
Fresh Reader juga perlu hati-hati menentukan kapan standar tersebut itu perlu diterima dan dicerna dalam diri, ketika standar tersebut sesuai dengan nilai yang kalian percaya, nilai itu jadi kebenaran. Tetapi, ketika nantinya standar sosial itu menjadi standar yang menentukan kebahagiaan diri bahkan menentukan value diri kita, itu yang nantinya malah akan merugikan dan membuat kita merasa banyak tuntutan dalam hidup.
Albert Einstein pernah berkata dalam Theory of Happiness, katanya gini, hidup yang tenang dan sederhana itu akan banyak memberikan kebahagiaan dibandingkan dengan hidup yang terus menerus mengejar kesuksesan tapi dipenuhi rasa takut dan gelisah. Nah, benarkan bahwa kita enggak akan pernah tenang ketika kita terus-terusan mengikuti apa yang dikatakan orang lain. Lebih baik menjadi diri sendiri yang sederhana dan fokus memperbaiki diri, dibanding harus terus merasa kurang karena enggak bisa mengikuti apa kata orang.
Sebagai penutup, Fresh crew punya satu kutipan lagi dari salah satu drama korea yang isinya tuh gini ”Ini hidupku, hidup yang harus ku alami, ku jalani dan ku hadapi sendiri”. Kata-kata itu tuh nampar banget, bahwa ya ini hidup kita, kita yang punya andil atas kebahagiaan kita, kita yang pegang kendali atas kemana pilihan hidup yang kita mau, kita juga yang mengalaminya sendiri, dan tentu kita yang akan menghadapi sendiri berbagai rintangan dan cobaan yang ada dalam hidup kita, orang lain mana tau.
*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sosiologi UIN SGD Bandung yang juga merupakan Anggota Magang LPM SUAKA 2022.