Surat dari Praha, Kemasan Elegan Penuturan Sejarah

Dok.Net
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Gulung demi gulung rol film terus diputar. Surat Dari Praha seakan-akan tidak sedang menuturkan selembar bagian dari salah satu peristiwa terkelam sejarah Indonesia. Jaya, sarjana nuklir yang bersekolah di Praha bertahun-tahun tak pulang ke tanah air sejak perubahan situasi politik dari orde lama ke orde baru. Hal itu memaksa Jaya mengingkari janji dengan tunangannya, Sulastri untuk pulang.
Jaya hanya bisa terus menceritakan perasaan dan hidupnya melalui surat kepada Sulastri tetapi Sulastri sengaja tidak menjawab karena takut Jaya tak akan mengirim surat lagi. Sulastri yang lama menunggu Jaya pulang akhirnya menikah dengan orang lain dan hidup dalam ketidakharmonisan. Sementara Jaya yang lama menunggu balasan surat Sulastri harus bergelut dengan nuraninya sendiri sementara hati terus menerus mengutuki nasib, tak bisa memaafkan takdir.
Larasati, anak Sulastri, yang tumbuh tanpa kasih sayang terpaksa memenuhi wasiat ibunya mengantarkan surat kepada Jaya di Praha setelah sang ibu meninggal. Di Praha, Jaya menolak surat yang diantar Laras. Pertemuan dan konflik keduanya kemudian perlahan-lahan menyingkap akar masalah antara Jaya dengan Sulastri serta akibatnya kepada Laras.
Sebagian orang yang pertama kali menonton film Surat Dari Praha pasti dihujani tanda tanya, bahkan hingga akhir cerita, apalagi jika tidak memperhatikan setiap dialog, setiap kejapan scene. Sadar-sadar, film sudah usai saja. Film manis ini sedikit banyak memang menggoda untuk ditonton berulang.
Sejak awal cerita, tayangan langsung menyuguhkan peristiwa ganjil. Sulastri, ibu Laras meninggal, satu fenomena yang bagi sebagian besar orang akan sangat memilukan. Anehnya, jangankan menangis, terlihat sedih pun tidak tergambar pada wajah Laras. Di sinilah Julie Estelle menghantarkan secara dingin peran Laras dengan mimik mukanya semenjak tahu ibunya meninggal hingga ia mendapat surat wasiat untuk pergi ke Praha.
Scene tersebut menggiring penasaran, apa sebetulnya yang telah terjadi dalam kehidupan Laras sampai peristiwa setragis kematain ibu tidak menjadi kesedihan baginya. Tarikan awal yang ganjil ini apik sekali sebagai fondasi cerita untuk menyeret penonton mengikuti cerita dengan cermat.
Pada lajunya, plot tampak sengaja di rancang untuk menaik-turunkan emosi. Konflik yang terjadi antara Laras dan Jaya dibuat pasang-surut. Ada kondisi saat mereka terperangkap dalam perdebatan, kadang keduanya saling membenci tapi terpaksa bekerja sama menyelesaikan masalah, ada saat ketika mereka bercengkerama, mendiskusikan isu sentilan di bawah lampu-lampu jingga jembatan Charles atau di bangku kawasan perbukitan bersama Bagong, anjing peliharaan Jaya. Cukup menggelitik untuk disoroti, alih-alih memakai tokoh yang tanggung, peran Bagong dengan cerdik ditempatkan oleh sutradara dan penulis sebagai cermin untuk membantu penuturan.
Sisi unik dari film ini adalah pertama, cerita beraliran drama dibangun atas dasar peristiwa sejarah. Banyak film sejarah Indonesia (dengan berbagai genre) bertumpu pada kekuatan tokoh seperti pahlawan atau presiden. Namun dalam film Surat Dari Praha, titik tumpunya adalah kerangka peristiwa yang terjadi dalam sejarah serta akibatnya pada seseorang.
Unsur penguat sejarah yang ditampilkan adalah para sesepuh Indonesia saksi sejarah yang di dunia nyata memang tinggal di kota Praha. Untuk menggugah nasionalisme, film tidak menampilkan kobaran-kobaran api, senjata, apalagi tumpah darah memenuhi layar. Tetapi dengan cerita dan nyanyian sendu lagu “Tanah Airku” para veteran. Kombinasi drama dan sejarah yang tidak terkesan menggurui namun tetap menampar ini jadi alasan kecantikan Surat Dari Praha.
Kedua, lagu latar yang memiliki ruh kuat, menjadi nadi yang mengalirkan oksigen ke setiap cabang pembuluh cerita. Empat lirik-nada pembangun mengiring cerita dengan baik terutama karena Sabda Rindu dan Nyali Terakhir dinyanyikan oleh dua tokoh utamanya. Berbicara kualitas suara, tentu tidak bisa disamakan dengan Glenn Fredly. Tapi, suara parau dan teriakan harmonika Tio Pakusadewo meremas gambaran rasa rindu Jaya lebih menyesakkan.
Berbeda lagi dengan pembawaan Julie Estelle dalam Nyali Terakhir. Suara bernyanyinya tidak terdengar seperti suara aslinya, merdu tak terduga. Dalam adegan tersebut, Laras dan Jaya berduet hingga terlelap, sebagai tanda meredanya ketegangan antara dua orang berbeda generasi tersebut.
Pada titik ketika Laras dan Jaya menyanyikan lagu Nyali Terakhir, Laras seakan menjelma menjadi Sulastri, ibundanya. Di sinilah terjadi kerancuan dan sedikit menjadi nilai minus untuk film. Jaya dan Laras terlihat dekat, seakan-akan Jaya mencintai Laras sebagai kekasih (perwujudan dari Sulastri).
Pada tayangan lanjutan, memang ada penegasan bahwa Jaya hanya menyayangi Laras sebagaimana ia menyayangi anaknya sendiri. Hal itu terbukti ketika Jaya membaca surat wasiat dari Sulastri yang diantarkan oleh Laras. Tapi sebagian orang pasti akan terjebak melihat perilaku kedua tokoh.
Di akhir cerita, kembali penonton dikejutkan dengan konflik yang nantinya menyudahi cerita dengan sangat halus, lembut mengalir tanpa terasa. Pada konflik itulah, inti dari permasalahan dalam diri Jaya (yang juga menjadi pokok keseluruhan cerita) secara gamblang disebutkan oleh Laras sebelum akhirnya, Jaya mampu menyingkirkan egonya, menyelesaikan permasalahan bersama Laras.
Oleh : Muhammad Machally
Editor Fresh : Ulfah Choirun Nissa