Menilik Lebih dalam di Balik Euforia Film Dilan 1991

Foto oleh Noviyanti Putri / Magang
FRESH.SUAKAONLINE.COM – “Jangan rindu, berat! Kamu gak akan kuat. Biar aku saja”. Kalimat manis yang sangat melekat pada telinga yang sudah menyaksikan film Dilan 1990. Film yang mengisahkan romantisme dan perjalanan asmara Dilan yang diperankan oleh Iqbal Ramadhan, dan Milea yang diperankan oleh Vanesha Prescilla dengan latar tahun 90-an berhasil mencapai 6,2 juta penonton bioskop tanah air.
Kini hadir sekuel film tersebut dengan judul Dilan 1991. Baru satu hari penayangan pada 28 Februari 2019, film ini sudah mencapai 720 ribu penonton, data tersebut didapat dari Kompas.com. Dengan begitu, pasti kita semua penasaran kenapa film bergenre romance dan sirkulasinya remaja bisa cepat menarik perhatian penonton. Terlebih pada film Dilan 1991.
Dosen Film Stadis UIN SGD Bandung, Yoga Sudarisman, menjelaskan film remaja jika dilihat dari sisi sinematik akan selalu disuguhkan dengan pencahayaan yang hangat dan warna yang lebih cerah. Hal ini akan membuat siapa saja yang menonton merasa senang dan bersemangat. Apalagi film remaja sudah jelas pasarnya yaitu anak muda.
Selain pencahayaan dan warna yang memikat, film Dilan 1991 juga kaya akan narasi yang tak biasa. “Fenomena Dilan sekarang ini karena didukung juga oleh popularitas narasinya. Kita semua tahu Dilan diadaptasi dari novel best seller karya Pidi Baiq. Jadi, secara sederhana tidak harus maksimal dari sisi marketing film tersebut, karena sudah terbantu oleh marketing novel,” Kata Yoga, Rabu (27/2/2019).
Nah, Fresh Reader pasti sudah tahu kalau sebelum Dilan 1991 tayang serentak pada 28 Februari 2019, di Bandung sudah terlebih dahulu diadakan Gala Premier di seluruh bioskop di Bandung pada 24 Februari 2019 yang merupakan hari Dilan. Tiket yang dijual bahkan sangat murah, hanya sepuluh ribu. Bahkan salah satu Mall di Bandung para pegawai bioskop memakai baju putih abu untuk memperingati hari Dilan ini. Niat sekaleeeeee.
Nggak cuman ada hari Dilan, di Bandung juga adaTaman Dilan. Pada 24 Febuari juga merupakan peletakkan batu pertama oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, beserta para pemain Dilan yang hadir. Taman Dilan ini terletak di Bandung Wetan tepatnya di GOR Saparua. Dilansir dari Kompas.com hadirnya Taman Dilan menuai Pro dan Kontra sehingga berganti nama menjadi Dilan Corner (Pojok Dilan). Tujuannya untuk menambah produktivitas anak muda dalam hal literasi.
Menurut Yoga, dengan adanya Gala Premier Dilan dan Pojok Dilan ini merupakan salah satu budaya pop. “Ini merupakan mekanisme budaya pop yaitu bagaimana caranya untuk memopulerkan sesuatu di perlukan tiga hal. Pertama adalah konsumsi masal, kemudian yang kedua uang, dan ketiga mekanisme produk. Mengenai Pojok Dilan, hal itu dilakukan karena Ridwan Kamil bangga dengan Pidi Baiq, putra daerah yang mengabadikan Bandung dengan beribu karya,” sambungnya.
Ternyata di balik euforia film Dilan, terdapat penolokkan tayang di Makassar. Seperti dilansir dari tribunnews.com, aksi demo dilakukan oleh Komando Mahasiswa Merah Putih (Kompi) di depan Bioskop Mal Panakkukang, Makassar. Aksi tersebut dimotori dengan kekhawatiran adanya adegan yang tidak memuliakan guru dan kekerasan oleh geng motor.
Begitupun yang dituliskan dalam pemberitaan IDN Times, Aliansi Mahasiswa Peduli Pendidikan Nasional menolak Dilan 1991 tayang di Makassar karena dianggap menayangkan adegan yang bertentangan dengan moral dan asusila. “Tayangan film Dilan 1991 mempertontonkan adegan amoral dan asusila yang bertentangan dengan KUHP,” kata Mika, jenderal lapangan dalam unjuk rasa.
Selain aksi penolakkan oleh beberapa aliansi mahasiswa, Dilan 1991 juga memberikan efek candu bagi penontonnya. Mahasiswa jurusan Ilmu Politik, Joko Maulana mengatakan film Dilan membuat candu para remaja dan terus-terusan menonton film bergenre romance.“Karena masyarakat Indonesia khususnya remaja sudah terkontaminasi virus-virus bucin (budak cinta) yang menyebabkan timbulnya candu terhadap film bergenre romantis. Candu itu gak baik, sewajarnya saja kalau bisa.” Pungkas Joko.
Walaupun demikian, berbagai polemik antara pro dan kontra justru harus membuat kita jeli sebagai penikmat film. Jangan hanya datang dan pulang dengan tangan kosong ketika selesai menonton film, kita juga harus mendapatkan sesuatu yang bisa kita ambil pelajarannya untuk hidup kita.
Fresh Crew : Noviyanti Putri / Magang
Editor Fresh : Rizky Syahaqy