Resensi Film : Filosofi Hidup dari Secangkir Kopi
Akhirnya, Pak Seno dan istrinya dengan senang hati mengajak Ben untuk menunjukkan cara yang bisa membuat Tiwus menjadi yang terbaik. Dimulai dari pergi langsung ke kebun kopi milik Pak Seno. Saat berada di kebun kopi, Ben teringat dengan masa kecilnya. Ben yang merupakan seorang anak petani kopi ini mengalami masa lalu yang menyedihkan ketika ia ditinggalkan ibunya. Semenjak ibunya meninggal, suasana keluarganya berubah. Ayah Ben tidak lagi membuat kopi akibat kesedihannya ditinggalkan oleh istri tercinta. Di sisi lain, Ben tidak lagi menemukan kehangatan keluarga yang pernah ia rasakan. Namun, kecintaannya kepada kopi yang sudah melekat pada jiwanya, membuat ia menjadi seorang barista seperti saat ini.
Akhirnya, Ben pun mencoba kopi Tiwus. Lalu, ia terpaku. Ia menyadari kopi Tiwuslah yang lebih baik. Kemudian, mereka kembali ke Jakarta. Saat itulah sikap Ben menjadi berubah. Disaat perdebatan tentang kopi mana yang akan disajikan kepada pemilik tender itu, Ben mengalami konflik dengan dirinya sendiri. Dimana yang membedakan selama ini ialah ia membuat kopi dengan obsesi, bukan dengan menggunakan hati seperti yang dilakukan oleh Pak Seno. Ia tidak bisa menyajikan Tiwus. Karena Tiwus adalah milik Pak Seno. Kemudian dengan bijaknya El mangatakan, bukan soal kopinya tetapi soal siapa yang meracik kopinya. Perkataan itu membuat Ben tersadar dan demi keselamatan Filosofi Kopi, akhirnya kopi Tiwus yang akan disajikan.
Saat yang ditunggu-tunggu pun datang. Ben dan Jody mendatangi pengusaha dan pemilik tender itu. Kemudian, saat Ben meracik kopi ditengah diskusi bisnis itu, perhatian pemilik tender teralihkan oleh aroma kopi Tiwus. Lalu, saat menyeruput secangkir Tiwus itu, sang pemilik tender tersenyum yang artinya ia menyukai kopi Tiwus itu. Akhirnya, Ben dan Jody berhasil memenangkan tantangan ini. Mereka mendapatkan cek senilai 1 Miliar. Namun, ditengah kebahagiaan itu, Ben memutuskan untuk berhenti sebagai barista. Pada saat yang bersamaan, Jody tidak punya pilihan akan keputusan sahabatnya itu. Filosofi kopi pun ditinggalkan oleh barista andalannya.
Ben pun kembali ke kampung halamannya di sebuah desa kecil di Lampung. Ia pulang untuk menemui ayahnya dan menetap di sana untuk tinggal bersama ayahnya. Kedamaian hidup di desa bersama sang ayah membawa ketenangan untuk dirinya sendiri.
Sejak kepergian Ben, Filosofi Kopi pun berubah. Ibarat sebuah nyawa, Filosofi Kopi seperti telah kehilangan nyawanya. Hingga membuat Jody menyusul sahabatnya. Ia ingin mengajak Ben untuk kembali ke Filosofi Kopi. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh Ben. Ia lebih memilih tinggal bersama ayahnya. Jody pun kembali ke Jakarta tanpa berhasil membawa Ben kembali ke Filosofi Kopi.
Ketika suatu malam bersama ayahnya, ia mendapatkan sebuah surat wasiat dari ibunya. Kemudian ayahnya mengatakan kepada Ben bahwa bila ia mencintai kopi, lanjutkanlah perjuangan itu. Hal ini membuat Ben tergugah untuk kembali ke Jakarta, melanjutkan perjuangannya bersama Filosofi Kopi. Namun, setibanya di sana, kedai Filosofi Kopi telah dijual. Tetapi, tiba-tiba ia didatangi sebuah mobil dimana di sana terdapat teman-temannya di Filosofi Kopi dan Ben pun pergi bersama mereka. Menjajakan kopi dengan menggunakan mobil, membawakan perjuangan mereka dan menyajikan kopi ke seluruh Indonesia.
Kelebihan film ini, menyajikan makna hidup yang ternyata bisa didapatkan dari secangkir kopi. Menyampaikan pesan kepada siapa pun yang menonton film ini untuk melakukan sesuatu harus didasari dengan hati yang tulus. Film ini sangat cocok ditonton oleh barbagai kalangan. Khususnya bagi remaja agar memiliki semangat akan dedikasi terhadap sesuatu yang dicintai. Kekurangan dari film ini ada bagian yang ada di novel yang tidak ditayangkan pada filmya. Tapi secara keseluruhan, film ini sangat direkomendasikan untuk ditonton. Film Filosofi Kopi saya kira merupakan film Nasional terbaik untuk saat ini.
Reporter Fitri Utami Dewi
Redaktur Desti Nopianti