Hyper Independence, Antara Mandiri atau Menyiksa Diri?
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Pada dasarnya, kemandirian adalah suatu sikap yang positif. Karena bagaimanapun juga, tidak selamanya kita dapat bergantung kepada orang lain. Ada suatu masa dimana hanya diri kita sendirilah yang bisa diandalkan. Tapi jika kita selalu denial akan jalan buntu dan merasa dapat menyelesaikan segala sesuatu secara mandiri serta terlampau sering mengutuk pertolongan orang lain, inilah yang dinamakan hyper independence.
Sebagai seorang mahasiswa, kita sering dituntut untuk dapat hidup mandiri. Serba sendiri dan meminimalkan uluran tangan orang lain. Namun dorongan akan kemandirian tersebut, terkadang malah diaplikasikan secara berlebihan. Alhasil mereka secara tidak sadar mulai mengenyahkan istilah zoon politicon yang dikemukakan oleh Aristoteles untuk menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
Penyebab seseorang merasa takut dan sungkan meminta bantuan orang lain salah satunya karena akibat dari faktor traumatik di masa lalu. Baik itu direndahkan, kurangnya dukungan sosial, pengabaian dan penolakan secara berkala, pengalaman pahit berupa pelecehan, kekerasan fisik maupun verbal, dan ragam pengalaman lainnya yang dapat membuat seseorang menjadikan hyper independence sebagai jalur mekanisme pertahanan diri.
Tanda-tanda Hyper Independence
Melansir dari situs verywellmind.com, tanda-tanda lebih lanjut seorang hyper independence yang pertama adalah sulit untuk menyerahkan tugas kepada orang lain. Tanda yang satu ini, sebetulnya mudah sekali kita temui di dunia perkuliahan yang kaya akan tuntutan kerja sama tim. Mereka umumnya sukar untuk mempercayakan tugas bersama kepada teman satu timnya. Bisa karena antara takut tidak sesuai ekspektasi atau yakin dirinya dapat melakukan lebih.
Tanda selanjutnya yaitu kepribadian seorang hyper independence cenderung tertutup. Mereka enggan membagikan informasi terkait dirinya. Hal ini karena rasa percaya mereka terhadap orang lain cukup minim, ada kekhawatiran tersendiri yang terus membayangi. Seperti takut dikecewakan atau dikhianati. Tindakan menutup diri disertai kewaspadaan yang tinggi, tentu akan berbuah pada hubungan sosial yang mudah kadaluarsa.
Tanda yang terakhir adalah seorang hyper independence biasanya mempunyai ambisi yang tinggi terhadap proyek yang tengah dijalani. Karena terlalu terbiasa membebankan dan menyelesaikan segala hal kepada diri sendiri. Tidak heran jika mereka juga menaruh target yang cukup tinggi. Meski dampaknya cukup buruk bagi kesehatan. Terlalu memforsir diri tentu hanya akan menimbulkan stress berkepanjangan.
Nah, apakah Fresh Reader pernah bertemu dengan orang-orang yang bertindak demikian? Atau jangan-jangan kalian adalah salah satunya? Yuk segera atasi kondisi hyper independence tersebut, dengan cara segera keluar dari zona nyaman. Mulailah belajar mengelola rasa kecewa guna membangun kembali kepercayaan kepada orang lain. Selain itu, cobalah untuk menantang diri dengan mendelegasikan tugas dan meminta bantuan kecil.
Jika keadaan terasa memburuk dan sukar teratasi, cobalah untuk melakukan konsultasi melalui layanan psikologi. Ketahuilah, hanya kita yang dapat menyulap diri. Sikap mandiri yang berbanding tipis dengan bentuk penyiksaan diri ini, sudah sepatutnya kita hindari. Sebab pada hakikatnya manusia tidak dapat hidup sendiri dan meminta bantuan orang lain bukanlah bentuk dosa yang tak terampuni.
Sumber: verywellmind.com, choosingtherapy.com, jendelapsikologia.com, Kompasiana.com
Fresh Crew: Elsa Adila Rahma/Magang
Editor Fresh: Fitri Nur Hidayah/Suaka