Menilai Jurnalisme Lewat Kacamata Rusdi Mathari
Judul : Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan
Penulis : Rusdi Mathari
Penerbit : Buku Mojok
Tahun Terbit : 2018
Halaman : xiv + 257 Halaman
ISBN : 978-602-1318-64-5
FRESH.SUAKAONLINE.COM – Berita yang muncul di berbagai media massa seperti koran, televisi, dan internet tidak serta merta ada begitu saja. Berita sampai kepada pembaca melalui alur yang panjang dan melibatkan banyak kepentingan di dalamnya. Sebagai wartawan senior, Rusdi menceritakan dengan sederhana kisah di balik pembuatan berita itu secara ringan dan mengalir.
Buku ini merupakan 38 refleksi dan kritiknya terhadap media: nasional dan internasional, yang ia publikasikan melalui blog, facebook, surat kabar, dan bahan ajar pribadinya. Tulisan tersebut lahir dari wawasan, pengamatan, dan keterlibatannya langsung dalam praktik jurnalisme, sebuah bidang yang ia tekuni selama lebih dari 25 tahun melalui profesi wartawan.
Secara umum, sesuai judulnya “Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan”, buku ini berusaha menjelaskan cara wartawan dan media bekerja melalui kacamata penulis, Rusdi mathari. Namun, jika dilihat lebih detail, kumpulan tulisan Rusdi ini membahas empat hal: kisah menarik para jurnalis, sejarah berbagai surat kabar, kritik terhadap media, dan kiat menjadi pewarta berdasarkan pengalaman langsung Rusdi.
Sebagai pewarta senior, Rusdi mengenal cukup banyak tokoh jurnalis berpengaruh. Urutan pertama dalam buku ini, tulisan Rusdi berjudul “Jacob” membahas ingatannya dalam mengenal sosok pendiri kompas, Jacob Oetama yang memberi kesaksian dalam perkara pembredelan majalah Tempo. Rusdi juga membahas kisah sastrawan dan jurnalis Amerika Latin, Gabriel Garcia Marquez dalam tulisannya “Despedida Senor Gabo”.
Lebih dari setengah tulisan di buku ini membahas tentang kritiknya terhadap media. Rusdi menguliti sisi lain dunia jurnalistik melalui berbagai kasus yang menarik. Contohnya dalam ‘Wartawan dan Kebohongan’ ia menceritakan dua tulisan dari media besar, The Washington Post dan Jawa Pos yang menerbitkan tulisan fiktif. Sejatinya, menurut Rusdi “wartawan dan kebohongan adalah dua senyawa yang tidak boleh bersatu.” – Halaman 23
Rusdi juga memberikan bekal sejarah kepada para pembacanya di buku ini. Pasang-surut surat kabar di Indonesia ia singgung melalui kisah yang terjadi terhadap surat kabar Sin Po, Sinar Harapan (berubah menjadi Suara Pembaruan), Obor Rakyat, The Jakarta Post, dan Tempo. Kisah di dalamnya menjadi menarik karena dalam beberapa kasus seperti di Tempo dan Suara Pembaruan, Rusdi bersinggungan secara langsung.
Paham akan segmentasinya yaitu pembaca yang hendak nyemplung ke dunia jurnalistik, Rusdi membagikan kiat dasar menjadi wartawan. Dalam tulisan “sumber berita”, “tentang wawancara”, dan “wartawan dan kebohongan” ia memberikan ilmu praktikal dalam peliputan. Bagaimana cara mempersiapkan wawancara hingga menghadapi berbagai kendala yang kerap muncul di dalamnya, ia jelaskan dalam tulisan “tentang wawancara”.
Tidak dapat dipungkiri jam terbang Rusdi dalam dunia kepenulisan membuat artikel di buku ini sangat mudah untuk dimengerti. Wisnu Prasetya Utomo, sebagai penyunting ia melakukan pengurutan terhadap 38 tulisan yang ada di buku ini dengan runut sesuai dengan topik yang diangkat, sehingga antar tulisan terjalin ketersinambungan. Sayangnya, ada beberapa kali pengulangan cerita dalam tulisan yang berbeda.
“Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan” merupakan pengantar yang asik bagi pembaca awam yang ingin masuk ke kolam jurnalistik. Rusdi menceritakan secara jujur dan terang-terangan betapa dalam dan keruhnya kolam itu, karena “Jurnalistik adalah dunia yang mestinya tidak boleh ada kebohongan, prasangka, dan itikad buruk.” – Halaman 216
Fresh Crew: Arie R Prayoga/Suaka
Editor Fresh: Fitri Nur Hidayah/Suaka